Translate

Senin, 11 Agustus 2014

contoh skripsi Sabha Parwa.

                                                             BAB I                                   
                                                PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang Masalah
            Peradaban Agama Hindu yang telah berlangsung dalam kurun waktu yang sangat panjang telah melahirkan berbagai bentuk kebudayaan. Salah satu wujud kebudayaan yang dihasilkan ialah berbagai bentuk kesusastraan. Bahkan kata sastra berasal dari bahasa Sanskerta Sastra yang berarti kitab suci, buku-buku yang berkaitan dengan ilmu-ilmu, kitab yang berisi ajaran-ajaran (Sharma dalam Mayuni dkk, 2013 : vii). Sehubungan dengan hal tersebut, kata Kesusastraan dalam bahasa Indonesia berhubungan dengan arti kata Sastra dalam bahasa Sanskerta tersebut.
Oleh karenanya, khazanah kesusastraan dalam lingkup kebudayaan Indonesia yang mengandung ajaran Agama Hindu disebut pula kesustraan Hindu dalam arti sebagai “segala hasil cipta baik lisan maupun tertulis dengan berbagai medium yang berkaitan dengan kitab suci, seni sastra, ilmu pengetahuan, dan ajaran-ajaran agama yang memiliki berbagai ketentuan seperti keaslian (otentitas), keartistikan, keindahan dalam isi, dan ungkapannya (estetika) yang berkaitan dengan sistem agama dan kebudayaan Hindu (Jelantik dalam Mayuni dkk, 2013 : vii).
            Berbagai karya sastra telah dihasilkan dan menjadi warisan yang tidak ternilai. Pada masa pemerintahan Maharaja Dharmawangsa Teguh Anantawikrama Tungga Dewa di Jawa Timur sekitar lebih satu abad silam, yaitu antara abad IX dan abad X diadakan sebuah upaya yang disebut Mangjawaken Byasamata atau membahasajawakan ajaran-ajaran Bhgawan Byasa. Kitab-kitab Parwa (bagian dari Astadasaparwa atau Mahabharata dibahasajawakan pada masa itu, dan menjadi candi pustaka bangsa Indonesia yang lestari hingga kini (Agastia, 1994:v).
Transformasi berbagai bentuk karya sastra dalam bahasa Sanskerta ke dalam bahasa-bahasa lain menunjukkan adanya upaya pemahaman terhadap ajaran-ajaran Agama Hindu yang terdapat di dalamnya. Kitab parwa yang di dalam tradisi India disebut Astadasaparwa karena terdiri dari 18 kitab parwa dan disebut Mahabharata karena menceritakan kisah mahawangsa ksatrya Bharata dan merupakan kitab yang sangat penting dalam lingkup kebudayaan Hindu.
Penelitian mengenai parwa dalam bentuk karya satra kekawin sebagai hasil transformasi Astadasaparwa oleh pujangga pada masa pemerintahan Maharaja Dharmawangsa Teguh Anantawikrama Tungga Dewa di Jawa Timur telah dilakukan oleh ahli Jawa Kuna. Berg setelah meneliti kitab parwa menyimpulkan bahwa seluruh epik Mahabharata telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa Kuna, tetapi beberapa parwa diantaranya telah hilang. Sebaliknya, Dr. Pigeaud dengan tandas meyakinkan bahwa tidak seluruh parwa dari delapan belas parwa yang membangun kitab Mahabharata telah dibahasajawakan. Demikian pula secara inplisit Zoetmulder juga menyampaikan bahwa Adiparwa sampai Bhismaparwa (yaitu parwa pertama sampai keenam) merupakan bagian dari proyek komprehensif yang meliputi seluruh epik Mahabharata. Tetapi pada periode selanjutnya ada lagi kegiatan untuk membahasajawakan empat buah parwa yang meliputi Asramawasa, Mausalaparwa, Prasthanikaparwa, dan Swargarohanaparwa. Menurut  Agastya (1994:13) kegiatan tersebut tampaknya dilakukan setelah hadirnya kakawin Baratayudha karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang telah mengolah epos Mahabharata sampai pada sebelum keempat parwa tersebut yang berisi tentang kisah peperangan antara Korawa dan Pandawa, setelah gugurnya Maharsi Bhisma.
Penelitian yang berkesinambungan terhadap kitab-kitab parwa dalam bahasa Jawa Kuna perlu dilakukan secara mendalam karena menyangkut karya satra yang merupakan upaya transformasi ajaran Agama Hindu ke dalam lingkup kebudayaan Indonesia. Sebagai upaya tranformasi yang berkelanjutan, tampaknya penerjemahan kitab-kitab parwa yang mendekati sumber aslinya perlu diupayakan. Penerjemahan kitab-kitab parwa lebih merupakan upaya untuk memahami berbagai lapisan makna teks dalam kitab-kitab parwa yang membangun kitab Mahabharata. Secara teoritis, penerjemahan merupakan salah satu upaya intertekstualitas terhadap makna teks hipogram yang berbahasa Sanskerta.
Sejak zaman kerajaan kisah-kisah besar seperti Mahabharata dan Ramayana sudah berkembang di tengah-tengah masyarakat. Para pecintanya mengibaratkan Mahabharata dan Ramayana bagai samudra maha luas yang mengandung berbagai mutiara ajaran dharma, artha, kama dan moksa yang tak habis habisnya. Dan kenyataannya hingga kini mutiara-mutiara epos tersebut masih bertahan dan tak lekang oleh zaman. Selalu ada hal yang menarik juga relevan untuk menentukan nilai-nilai kehidupan.
            Dalam perjalannya, memang banyak penafsiran para dalang yang dikenal dengan sebutan cerita kawi pedalangan atau cerita carangan yang hidup dan berkembang seiring kejadian dalam kehidupan sosial masyarakat. Cerita-cerita ini menjadi menarik dan bertahan sesuai imajinasi yang muncul dari para dalang mengikuti alur kejadian sosial kemasyarakatan sebagai warisan karya pujangga zaman kerajaan Jawa Kuno.  
            Kesusastraan Jawa Kuna hidup dan berkembang di Bali. Selain terkenal dengan keindahan alamnya, Bali juga terkenal dengan seni dan kebudayaannya. Epos Mahabharata dan Ramayana yang telah dibahasajawakunakan banyak yang diselamatkan dan dikembangkan di Bali. Beberapa di antara kekawin yang babonnya berasal dari kedua epos besar di atas, disalin ke dalam lontar dan didokumentasikan oleh masyarakat Bali. Dalam perkembangan selanjutnya banyak naskah berbahasa Jawa Kuna oleh tokoh seniman dan budayawan Bali di samping disalin atau digandakan dengan media lontar, ada juga yang digubah kembali dalam bentuk satua. Beberapa satua atau cerita  dimaksud, seperti satua Bima Suarga, dan Sang Karna.
            Perpustakaan yang menyimpan naskah-naskah berbahasa Jawa Kuna baik dalam bentuk lontar atau yang telah dialihaksarakan seperti : Gedong Kirtya, Dinas Kebudayaan Propinsi Bali, Musium Bali, Perpustakaan Fakultas Sastra Unud, dan Perpustakaan Unhi Denpasar.         
            Parwa merupakan salah satu karya sastra yang perkembangannya sudah dari dulu. Penyampaian parwa pada saat itu dilakukan secara lisan oleh para orang tua kepada anaknya. Parwa yang disamapaikan tersebut merupakan cerita sejarah yang diangkat dari kisah  Mahabharata (Astadasa Parwa) dan dalam  parwa tersebut banyak terkandung nilai-nilai maupun nasihat yang bisa dijadikan pedoman bagi yang membacanya. Seiring perkembangan zaman, parwa sudah ada disampaikan secara tertulis yaitu berupa buku-buku kumpulan parwa. Namun kebanyakan masyarakat sekarang khususnya para orang tua enggan memberikan cerita parwa kepada anaknya dengan alasan mereka sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Kebanyakan masyarakat sudah mulai melupakan cerita-cerita tradisional seperti halnya  parwa yang banyak memiliki nilai-nilai etika dan pendidikan. Masyarakat khususnya orang tua terkadang bingung dan tidak bisa menentukan cerita ataupun parwa yang sesuai untuk disampaikan kepada anak-anaknya.
            Masyarakat sudah mulai melupakan cerita-cerita tradisional seperti halnya parwa dapat menghambat perkembangan kesusastraan itu sendiri. Kekhawatiran itu muncul sebagai akibat dari kemajuan teknologi yang begitu pesat. Hal itu terbukti dipergunakannya alat-alat elektronik dan media cetak seperti radio,TV, majalah, komik, dan masih banyak lagi sebagai sarana penyalur informasi baik yang bersifat menghibur, dan mendidik,  khususnya pada anak-anak dan juga masyarakat dewasa.Tetapi cerita yang disampaikan pada umumnya cerita yang sudah berkembang dan semakin maju sesuai dengan perkembangan zaman. Kebanyakan masyarakat yang sudah terkena modernisasi, mengalami perkembangan dan kemajuan iptek  beranggapan bahwa parwa  merupakan hal yang kuno dan ketinggalan zaman khususnya bagi masyarakat perkotaan.Tetapi tidak demikian dengan parwa khususnya yang banyak mengandung nilai etika dan pendidikan, perlu digali dan dikembangkan kembali pada masyarakat sehingga mampu berperan sebagai media pendidikan dalam berprilaku dengan harapan anak-anak dapat memilih jalan yang baik untuk diikuti dan jalan yang tidak baik untuk dihindari.
            Begitu halnya dengan Sabha Parwa  ini bukan saja sebagai penghibur anak-anak, tetapi dibalik itu menyajikan suatu pendidikan dalam berprilaku bagi pendengarnya. Menariknya isi Sabha Parwa karena dianggap dalam cerita tersebut mengandung nilai-nilai serta makna yang sangat penting untuk diketahui, bukan hanya untuk anak-anak kecil, tetapi dari cerita tersebut dapat meningkatkan pemahaman nilai etika terhadap generasi muda dan generasi tua untuk berprilaku dalam kehidupan sehari-hari. Karena dalam cerita tersebut dikisahkan seseorang yang rendah hati dan bijaksana akan selalu mendapat kemenangan, sedangkan seseorang yang selalu iri hati dan memiliki kecemburuan yang amat besar pada kebahagiaan orang lain akan selalu merasa kalah. Dengan demikian pembaca atau pendengar akan dapat memilih prilaku yang benar dan harus dilakukan dalam kehidupan ini. Sabha Parwa tersebut sudah diterjemahkan ke dalam bentuk bahasa Indonesia sehingga mempermudah pembacanya untuk memahami isi teks parwa tersebut.
            Berdasarkan hal di atas, dirasa menarik untuk diteliti tentang parwa khususnya Sabha Parwa guna diketahui lebih jauh tentang struktur dan nilai etika  dalam teks parwa tersebut.  Untuk itu diadakan penelitian dengan  judul  “Analisis Struktur dan Nilai Etika Hindu dalam  Sabha Parwa”.

1.2         Indentifikasi Masalah
            Dari latar belakang yang dikemukakan di atas dapat  diidenfikasi masalah sebagai berikut:
1.2.1        Belum banyak generasi muda mengetahui tentang pentingnya  Sabha Parwa terhadap kehidupan  bermasyarakat.
1.2.2        Belum banyak masyarakat yang tahu tentang riwayat penerjemah Sabha Parwa.
1.2.3        Baru sedikit  masyarakat yang tahu waktu diterjemahkannya Sabha Parwa.
1.2.4        Tidak banyak masyarakat yang paham mengenai struktur naratif Sabha Parwa.
1.2.5        Belum banyak masyarakat yang tahu tentang ajaran etika Hindu yang terkandung dalam Sabha Parwa.
1.3           Rumusan Masalah
Sesuai latar belakang  dan identifikasi masalah di atas, dirumuskan  masalah sebagai berikut:
1.3.1        Bagaimana struktur naratif  Sabha Parwa?
1.3.2        Bagaimana  ajaran etika Hindu dalam Sabha Parwa?

1.4              Tujuan Penelitian
            Sehubungan dengan hal di atas, maka dapat dikemukakan tujuan penelitian sebagai berikut :
1.4.1        Untuk mengetahui struktur naratif Sabha Parwa.
1.4.2        Untuk mengetahui  ajaran etika Hindu dalam Sabha Parwa.

1.5              Manfaat Penelitian
            Penelitian yang dilakukan, di samping mempunyai tujuan juga memiliki manfaat, sehingga memiliki dayaguna baik bagi peneliti maupun pihak lain. Penelitian ini dapat bermanfaat secara teoretis dan praktis.
1.5.1        Manfaat Teoretis
            Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sumber  bacaan, sumber informasi dan diharapakan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan bagi para pembaca khususnya yang berkaitan dengan karya sastra parwa.
1.5.2        Manfaat Praktis
            Hasil peneletian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi praktisi, budayawan, seniman, masyarakat luas dan siswa/mahasiswa  untuk dapat menambah wawasan mengenai karya sastra khususnya parwa, selain itu juga menjadi pedoman pengajaran etika Hindu dari orang tua atau guru kepada anaknya atau siswanya agar dapat berprilaku yang baik.   


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.       Struktur Naratif Karya Sastra

            Mengenai pengertian struktur naratif Pariyatna (2006 : 15) menyatakan bahwa : “ Struktur naratif merupakan suatu bagian dari keseluruhan karya sastra, mengulas  tentang bentuk atau kemasan dalam  menampilkan karya sastra itu dan memiliki hubungan yang signifikan dengan isi yang dikandungnya”. Struktur naratif  yang dimaksud adalah sinopsis, tema, tokoh, alur dan latar . kemudian Wisnu  (2001 : 33) menyatakan bahwa : “struktur naratif adalah salah satu bagian dari keseluruhan struktur karya yang mengulas tentang bentuk dalam menampilkan suatu karya sastra.
            Di samping itu struktur naratif lebih menekankan pada suatu kejadian yang saling berhubungan. Kejadian-kejadian yang saling berhubungan tersebut merupakan unsur-unsur yang membentuk alur. Menurut Cristianson (1988 : 30) bahwa kejadian-kejadian yang akan menjadi suatu alur apabila kejadian-kejadian tersebut tersusun dalam suatu urutan waktu tertentu. Susunan kejadian-kejadian tersebut membentuk tipe ketegangan naratif dalam sebuah alur cerita. Lebih lanjut, Kent (1986 : 61) menjelaskan bahwa “sistem teks memaparkan kepada kejadian yang mendahuluinya berdasarkan  pada beberapa kemungkinan yang berurutan”. Sedangkan pendapat lain di kemukakan “naratif pada dasarnya adalah unsur-unsur yang secara keseluruhan membentuk karya sastra” (Sukada, 1987:15).
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat dijelaskan bahwa struktur naratif merupakan serangkaian kejadian yang saling berhubungan yang tersusun dalam suatu urutan aktu tertentu, di samping itu pula merupakan suatu cerita yang bertujuan untuk menghibur, serta mempertahankan perhatian pembaca atau pendengar cerita.
Berdasarkan hal itu struktur naratif  teks Sabha Parwa adalah salah satu bagian dari karya sastra yang berbentuk prosa  yang diikat oleh struktur.  Struktur naratif  terdiri  : sinopsis, tema, tokoh/penokoh, latar/setting, alur/plot,
dan amanat.
2.1.1        Sinopsis
Penyajian sinopsis dalam karya sastra berupa ringkasan yang disajikan secara umum sebagai gambar awal dari proses penulisan. Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995 : 946) menyebutkan bahwa, Sinopsis adalah : “ikhtisar karangan ilmiah yang biasanya diterbitkan bersama-sama dengan karangan asli yang menjadi dasar sinopsis itu, atau disebut ringkasan atau abstraksi”. Senada dengan pendapat di atas Hardinawati (2003 : 634) menyatakan bahwa :  “sinopsis adalah ikhtisar karangan, biasanya diterbitkan bersama karangan aslinya”. Sinopsis menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesi oleh Tim Prima Pena (tt : 598) kata benda abstraksi, ringkasan cerita ini yang ditampilkan di depan cerita yang utuh.
Dalam penyajian sinopsis karya sastra merupakan suatu ringkasan yang disajikan secara umum sebagai gambaran awal dalam proses penulisan. Sinopsis disebut juga sebagai bahan acuan awal dalam menjelaskan keterkaitan cerita dari awal sampai akhir. Gambaran secara umum yang mencakup permasalahan yang jelas  maka  pembaca  dapat   memahami  apa  yang  disajikan  dalam  penulisan
selanjutnya.
2.1.2  Tema
Brooks dan Warren (dalam Sukasti, 2011 : 17) dinyatakan “Tema adalah pandangan hidup, perasaan mengenai kehidupan atau rangkaian dari nilai-nilai tertentu yang membentuk atau bangun dasar, atau gagasan utama dari suatu karya sastra”.
“Pernyataan dasar yang perlu disampaikan untuk mendapat tema suatu cerita adalah motivasi yang melatar belakangi gerak tokoh-tokohnya, apa masalahnya, bagaimana penyelesaiannya”. Staton  (dalam Sukasti, 2011 : 17). Sedangkan Aminudin, (1987 : 91) mengatakan bahwa tema adalah “tempat meletakkan suatu perangkat, merupakan ide yang mendasari suatu cerita, yang berperan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya sastra yang tidak begitu mudah untuk dipahami”.
Tema juga dimasukan : “pokok pikiran, dasar cerita yang dipercakapkan dipakai sebagai dasar pengarang, mengubah sajak dan sebagainya” (Tim Penyusun, 1995 : 1029 ). Dalam kamus sastra Indonesia disebut bahwa : “tema adalah gagasan, ide pokok dasar cerita” ( Arifin, 1991 : 129 ).
Berdasarkan pendapat di atas, maka tema adalah dasar  cerita yang dipakai
sebagai pangkal tolak pengarang dalam mengubah suatu karya sastra.

2.1.3        Tokoh/Penokohan
Tokoh memegang peranan penting dalam sebuah cerita, maupun dalam penulisan naskah drama. Dalam kamus istilah sastra disebutkan, tokoh adalah : “orang yang memainkan peran dalam karya sastra”. Dalam kaitannya dengan tokoh, maka penokohan adalah : proses penampilan seorang tokoh dengan pemberian watak, sifat, atau kebiasaan tokoh pemeran suatu cerita”. (Abdul Rozak Zaidan dk, 1996 : 206 ). Watak adalah sikap dan prilaku tokoh yang menjadi dasar penampilan tokoh dalam cerita rekaan dan drama  (Abdul Rozak zaidan, dkk 1996 : 214). Terkait masalah watak , maka perwatakan adalah pemberian watak atau pelukisan watak pada masing-masing tokoh dalam cerita.
Jadi dapat dijelaskan bahwa tokoh adalah idividu-idividu rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakuan serta memegang peranan dalam cerita yang memiliki watak tertentu. Biasanya dalam cerita, penokohan terdiri dari peran utama, peran sampingan atau peran pembantu.
Bardasarkan fungsinya tokoh dan penokohan dalam cerita dapat dibedakan antara tokoh primer (tokoh utama), (2) tokoh skunder (tokoh kedua), (3), dan (4) tokoh komplementer (tokoh pelengkap) (Sukada, 1987 : 62). Kriteria untuk menentukan dengan melihat intensitas keterlibatan tokoh dalam peristiwa yang membangun cerita baru. Penokohan dari para tokoh dapat terungkap oleh (1) tindakannya, (2) ujarannya, (3) pikirannya, (4) penampilan pisiknya, dan (5) apa yang dikatakan atau dipikirkan tokoh tentang dirinya (Minderop, 2005 : 22)
Jadi dapat dijelaskan dalam tokoh sebuah karya sastra terdiri dari dua kelompok yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan atau tokoh pembantu, dimana antara tokoh dan penokoh terdapat timbal balik yang saling melengkapi, yang mana tokoh itu merupakan objek atau pelaku dalam suatu cerita. Sedangkan penokohan menunjukan pada sikap, sifat yang berkaitan dengan kualitas pribadi seorang tokoh, sehingga dengan adanya tokoh / penokohan pada suatu cerita akan
terjalin cerita seperti yang kita harapkan.
2.1.4        Latar
Menurut Sudjiman (1986 : 44) menyatakan bahwa : “latar adalah segala keterangan petunjuk yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra yang membangun latar cerita”. Kemudian Nurgiantoro (2000 : 227) mengemukakan bahwa : “unsur latar  dapat dibedakan ke dalam unsur pokok, waktu, dan sosial”. Sedangkan dalam Kamus Pintar Berbahasa Indonesia disebutkan budaya didalam cerita” (Bahrudin, 2006 : 76).
Berdasarkan pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa latar adalah  suatu keterangan  mengenai ruang,  tempat  dan  waktu  terjadinya  peristiwa  dalam sebuah karya sastra. Latar tersebut meliputi : (1) latar tempat, (2) latar waktu, (3) dan latar budaya

2.1.5        Alur/Plot

            Menurut Luxemburg ( 1984 : 149 ) dinyatakan “ Alur adalah peristiwa  yang secara logis dalam kronologis saling berkaitan yang di akibatkan atau dipahami sebagai jalanan peristiwa dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu “. Dalam Kamus istilah  Sastra disebut “ alur adalah unsur struktur yang berwujud jalinan peristiwa di dalam  karya sastra yang memperlihatkan kepaduan tertentu yang diwujudkan antara lain hubungan sebab akibat, tema, atau ketiganya “ ( Abdul Rozak Zaidun dkk, 1996 : 26 ).
Dalam buku Apresiasi kesusastraan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan alur adalah : “ rangkain peristiwa yang satu sama lain dihubungkan dengan hukum sebab akibat “ (Sumardjo dan Saini , 1986 : 139. Sedangkan Retnoningsih (1985 : 12) menyatakan bahwa alur adalah “ suatu rentetan kejadian antara satu dengan yang lainnya, sehingga menimbulkan terjadinya sebab dan akibat “.
Dari beberapa pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa alur merupakan struktur rangkaian atau rentetan kejadian dalam karya sastra yang disusun sebagai urutan penceritaan yang berwujudan jalinan cerita yang koherensi, yang diwujudkan oleh hubungan sebab akibat dalam menuangkan ide, motif dalam suatu karya sastra.
2.1.6    Amanat
            Amanat  juga memegang peranan yang sangat penting dalam sebuah karya sastra, tanpa amanat karya sastra yang akan diciptakan tidak akan memiliki nilai dan manfaat yang dapat dipetik oleh para pembaca ataupendengar. Karena selain sebagai penghibur karya sastra juga diciptakan untuk memberi pesan dan nasehat  bagi pembaca atau pendengar. Ilang Arum Purwitasari menyatakan bahwa amanat adalahajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Sebagaimana tema, amanat dapat disampaikan secara inflisit yaitu dengan cara memberikan ajaran moral atau pesan dalam tingkah laku atau peristiwa yang terjadi pada tokoh menjelang cerita berakhir, dan dapat pula disampaikan secara ekplisit yaitu dengan penyampaian seruan, saran, peringatan, nasehat, anjuran, atau larangan yang berhubungan dengan gagasan utama cerita.
Berdasarkan pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa amanat adalah pesan yang  ingin  disampaikan  pengarang  melalui  karyanya  kepada  pembaca  atau pendengar, pesan  bisa berupa harapan, nasehat, kritik, dan sebagainya. (http://pengertianpengertian.blogspot.com/2013/04/pengertain-amanat-dalam-cerita.html).
2.2      Pengertian Nilai
Nilai memiliki arti yang beragam tergantung dari asfek yang dibicarakan.  Narwoko, 2006 : 55) mengemukakan bahwa :
Nilai adalah gagasan mengenai apakah suatu pengalaman itu berarti atau tidak berarti. Nilai pada hakekatnya mengarahkan perilaku dan pertimbangan seseorang, tetapi ia dapat menghakimi apakah sebuah perilaku tertentu  itu salah atau benar. Nilai yang dianggap sah artinya secara  moral  dapat  diterima   kalau  harmonis   dengan   nilai-nilai  yang
disepakati dan dijunjung oleh masyarakat dimana tindakan itu dilakukan.
Selanjutnya Koentjaraningrat (1977 : 677) menyatakan bahwa : “ Nilai adalah suatu hal yang berisikan, yang mengkonsepsikan hal-hal penting, berguna dalam kehidupa masyarakat “. Tim penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001 : 783) menyatakan bahwa “ kata nilai mengandung arti (1) sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan : (2) suatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya “.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat dijelaskan bahwa nilai adalah suatu gagasan yang mengkonsepsikan hal-hal yang penting atau berguna dalam bentuk prilaku pada  kehidupan  masyarakat.  




2.3       Etika Hindu
2.3.1        Pengertian Etika Hindu
Secara etimologi kata etika berasal dari kata ethos, bahasa Yunani, yang berarti karakter kesusilaan atau adat. Kata etika sering diidentikkan artinya dengan moral. Moral berasal dari kata mos, bahasa Latin yang dalam bentuk jamaknya mores, yang berarti cara hidup atau adat. Jadi kedua kata tersebut (etika dan moral) menunjukkan cara berbuat yang menjadi adat karena persetujuan atau praktek sekelompok manusia (Tim Penyusun, 1994 : 371).
Di dalam perkembangannya etika merupakan suatu kajian tentang sistem nilai-nilai yang ada, sedangkan moral adalah perilaku atau perbuatan manusia. Selanjutnya, pengertian etika dapat dijelaskan : (1) Etika, adalah mencari kebenaran; dan sebagai filsafat ia mencari informasi yang sedalam-dalamnya dan sistematis tentang kebenaran, (2) Etika, adalah menyelidiki/mengkaji kebaikan manusia, dalam hidup dan bertindak agar hidupnya bermakna, (3) Etika, adalah upaya (karma) manusia memakai keterampilan fisik (angga) dan kecerdasan rohani (sukma sasira) yang terdiri dari pikiran (manas), kecerdasan (buddhi) dan kesadaran murni (Atman) untuk memecahkan masalah kehidupan agar menjadi baik dan sempurna.
Sederhananya, etika merupakan studi tentang prilaku yang benar dan salah (dharna dan adharma), perilaku baik dan buruk (subha karma dan asubha karma) dan sifat kedewataan serta keraksasaan (daiwi asuri sampad).
Etika mempunyai arti yang sama dengan kata kesusilaan. Susila berasal dari bahasa Sanskerta, su berarti baik dan sila berarti norma kehidupan. Jadi etika berarti kelakuan yang menuruti norma-norma kehidupan yang baik.
Dalam kehidupan sosial keagamaan Hindu, etika sering disebut dengan istilah tata susila. Mantra dalam bukunya yang berjudul Tata Susila Hindu Dharma, menjelaskan bahwa tata susila berarti peraturan tingkah laku yang baik dan mulia yang harus menjadi pedoman hidup manusia (Mantra, 1993 : 5).
Etika dalam Agama Hindu adalah pengetahuan tentang kesusilaan berbentuk kaidah-kaidah yang berisi larangan-larangan atau suruhan-suruhan untuk berbuat sesuatu. Jadi Susila/etika dalam Ajaran Agama Hindu adalah peraturan tingkah laku dan kewajiban moral (akhlak) berbentuk kaidah-kaidah berisi larangan-larangan atau suruhan-suruhan yang dijadikan pedoman hidup untuk menentukan mana yang baik dan mana yang salah.
Sesuai dengan uraian di atas, yang dimaksud etika Hindu adalah tata susila yaitu peraturan tingkah laku yang baik dan yang mulia yang menjadi pedoman hidup manusia.

2.3.1        Tujuan Etika Hindu
Guna mencapai kesempurnaan hidup, memerlukan etika. Tanpa etika, kehidupan manusia tidak mungkin berjalan sebagaimana mestinya. Dalam hal ini etika memegang peran penting dan sentral ajaran Agama Hindu, dengan pertimbangan sebagai berikut :
(1)   Keberadaan manusia, di samping tunduk kepada hukum alam (Rta), juga tunduk kepada hukum-hukum  kehidupan bermasyarakat. Hal ini berbeda dengan alam dan makhluk hidup di luar manusia, yang berlangsung secara mekanisme dan tunduk kepada hukum alam saja.
(2)   Posisi hidup manusia, adalah berbeda dengan alam dan makhluk hidup lainnya yang hanya diatur oleh hukum alam, sedangkan manusia tidak hanya diatur oleh hukum alam, melainkan juga mengatur kehidupan dirinya sendiri dan kehidupan orang lain. Posisi diatur dan mengatur dapat dikatakan sebagai fenomena khas insani, yakni manusia menghadapi dua sisi realitas, keniscayaan (alami) dan kebebasan (insani). Dalam teori Samkya sebagaimana termuat dalam Bhagawadgita, menyatakan bahwa manusia diciptakan oleh Ida Sang Hyang Widhi dalam bentuk yang paling sempurna, dan sekaligus dibekali dengan dua sifat yang antagonistis yaitu daiwi sampad (kearifan) dan asuri sampad (keangkaramurkaan).
(3)   Manusia hidup di era Kaliyuga, dengan ciri-ciri : kecenderungan segala referensi kebenaran telah diseragamkan dan ditempatkan di bawah kekuasaan alat dan penilaian  yang materialistis; kecenderungan manusia mengabaikan nilai-nilai spiritual; kecenderungan manusia mudah tersinggung, sehingga kondisi ini sangat potensial terjadinya ketegangan yang pada gilirannya muncul konflik secara terbuka; serta kecenderungan manusia mencapai tujuan dengan menghalalkan segala cara.
(4)   Globalisasi, sebagai fenomena dengan implikasinya mempengaruhi kelangsungan hidup seseorang atau sekelompok orang. Mereka dihadapkan kepada kompetisi hidup yang ketat di segala lini kehidupan, terjadi interaksi sosial multi budaya, perubahan yang cepat yang diwarnai oleh ketidakpastian dan sulit diprediksi. Kesemuanya ini menyebabkan kehidupan manusia dihadapkan kepada tekanan dan ketegangan mental dan jiwa (Lali Yogantara, 2013 : 10).

Berhubungan dengan uraian di atas, maka secara simgkat etika Hindu diperlukan dalam mewujudkan harmonisasi kehidupan yang pada hakikatnya bertujuan untuk  mencapai  jagathita  dan  moksa   (kesejahtraan  dan kebahagiaan
hidup).  
2.3.2        Jenis-jenis Etika Hindu
Ada beberapa ajaran susila (etika Hindu) yang wajib dan harus dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari di antaranya adalah : Tri Kaya Parisudha, Catur Paramita, Panca Yama Brata, Panca Niyama Brata, Dasa Yama Brata, dan Dasa Niyama Brata.
1) Tri Kaya Parisudha
Tri Kaya Parisudha berasal dari kata tri artinya tiga, kaya artinya tingkah laku dan parisudha berarti mulia atau bersih. Tri Kaya Parisudha dengan demikian berarti tiga tingkah laku yang mulia (baik). Dalam Sarasamuccaya ajaran Tri Kaya Parisudha disebut Karmapatha. Sarasamuccaya 73 menyatakan :
Manasa trividham caiva vaca caiva caturvidham kayena trividam capi dasa karma pathacaret hana karmapatha ngaranya, kahrtaning indriya,sapuluh kwehnya, ulahakena, kramanya, prawrttyaning manah sakareng, telu kwehnya; ulahaning wak, pat, prawrttyaning kaya, telu, panda, sapuluh, prawrttyaning kaya, wak, manah, kangeta.
Artinya :
Adalah karmapatha namanya, yaitu pengendalian hawa nafsu, sepuluh banyaknya yang patut dilaksanakan; perinciannya : gerak pikiran tiga banyaknya, perilaku perkataan empat jumlanya, gerak tindakan tiga banyaknya, jadi sepuluh banyaknya perbuatan yang timbul dari gerakan badan, perkataan dan pikiran; itulah yang patut diperhatikan (Kadjeng Dkk, 1994 : 64 ).





Terkait dengan pengertian Tri Kaya Parisudha, Sura (1985 : 94-99) menyatakan bahwa:
Tri artinya tiga, kaya artinya gerak/badan dan parisudha artinya suci. Jadi Tri Kaya Parisudha adalah tiga gerak badan yang disucikan. Yang pertama kayika parisudha dapat dirumuskan sebagai segala prilaku yang berhubungan dengan badan yang telah disucikan. Selanjutnya yang kedua wacika parisudha. Hampir setiap orang berkata-kata, bercakap-cakap untuk menyampaikan isi hatinya kepada orang lain. Dan yang terakhir manacika parisudha ialah pikiran mendapat perhatian besar dalam ajaran yoga, karena pikiranlah sumber segala apa yang dilakukan orang, sumber
segala apa yang dikatakan orang.
Jadi ajaran Tri Kaya Parisudha dapat dijadikan pedoman untuk hidup dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Karena pikiran, perkataan, dan perbuatan yang dapat membuat seseorang terjerumus ke dalam hal yang baik maupun buruk, maka dari itu harus bisa mengendalikannya dan mengarahkan ke jalan yang baik. Supaya mendapat kehidupan yang harmonis serta tentram sejahtera.
2) Catur Paramita
Dalam Yoga Sutra I.33 ada dinyatakan : “Maitrikarunamuditopeksana sukhadukhapunyapunyavisayanam. Bhavanatascittaprasadanam” yang artinya pikiran seorang yogi bisa mendapat kabahagiaan bila bersahabat dengan orang-orang bahagia, mengasihi orang sedih, senyum terhadap orang baik dan menjauhi orang jahat (Tim Penyusun, 2011 : 9).
Supeksa (2010 : 1) menyatakan bahwa : “Kata Catur Paramita berasal dari bahasa Sansekrta, dari kata catur yang berarti empat dan paramita berarti sifat dan sikap utama”. Jadi Catur Paramita berarti empat macam sifat dan sikap utama yang patut dijadikan landasan bersusila atau etika dalam ajaran Agama Hindu. Pertama Maitri, yaitu semangat mencari kawan dan bergaul, yakni tahu menempatkan diri dalam masyarakat, ramah tamah, serta menarik hati segala perilakunya sehingga menyenangkan orang lain dalam pribadinya. Kedua Karuna, artinya belas kasihan, selalu memupuk rasa kasih sayang terhadap semua makhuk. Ketiga Mudita, artinya selalu memperlihatkan wajah yang riang gembira, yakni penuh simpati terhadap yang baik serta sopan santun. Keempat atau yang terakhir yaitu Upeksa, artinya senantiasa mengalah demi kebaikan, walaupun tersinggung perasaan oleh orang lain, ia tetap tenang dan sesalu berusaha membalas kejahatan dengan kebaikan.
Ajaran Catur Paramita termuat juga dalam kitab Sanghyang kamahayanikan, salah satu kitab Agama Budha, yang juga termasuk kitab Agama Hindu. Dalam Sanghyang Kamahayanikan dinyatakan Metri yang berarti berusaha untuk kebahagiaan segala makhluk utama. Kegiatan batin itu berusaha untuk segala yang ada baik hina, sedang maupun yang mulia, cinta kasih terhadap sesama makhluk dengan tiada mengharap pahalanya. Karuna,adalah bentuk batik makhluk utama yang menghendaki terhapusnya segala penderitaan makhluk. Mudita, artinya kebahagiaan batin seorang makhluk utama oleh  karena melihat kebahagiaan sesama makhluk setelah ia berhasil melaksanakan Metri dan Karuna. Upeksa, artinya tidak hirau (indifferent), acuh tak acuh, keadaan batin seseorang yang tidak dapat dipengaruhi oleh benda-benda lahiriah sehingga pikirannya dapat terpusatkan. Upeksa tidak lain dari berhasilnya samadhi, merupakan bentuk keseimbangan batin yang tidak terpengaruhi lagi (Panitia Penyusun, 1980 : 131-142)
Jadi ajaran Catur Paramita patut diupayakan dan direalisasikan dalam kehidupan ini, agar semua makhluk ciptaan Tuhan bisa hidup berdampingan, serasi, harmonis, dan damai.

3) Panca Yama Brata
Panca Yama Brata berasal dari tiga kata, yaitu panca berarti lima, yama artinya pengendalian diri dan brata yang berarti keinginan/kemauan (Sumartawan, 2004 : 46). Panca Yama Brata  ialah lrima macam pengendalian keinginan untuk tidak melakukan perbuatan melanggar susila. Dalam Silakrama ada dinyatakan sebagai berikut :
Ahimisa brahmacaryanca
Satyam awyawaharikam,
Astainyam iti pancate
Yama rudrena bhasitah
Artinya :
Ahimsa dan brahmacari, Satya, awyawahara, astainya, kelima ini disebut
yama (panca Yama Brata) oleh Dewa Rudra) (Punyatmadja, 1984 : 27).

Bagian-bagiannya adalah : (1) ahimsa (tidak menyakiti atau membunuh makhluk lain), (2) brahmacari (tidak melakukan hubungan kelamin selama masa belajar atau juga berarti pengendalian terhadap nafsu seks), (3) satya (kebenaran, kesetiaan, dan kejujuran). Ada lima jenis satya yang disebut Panca Satya dan patut diperhatikan oleh umat Hindu, yakni: satya hredaya yaitu setia terhadap kata hati dan selalu konsisten atau berpendirian teguh, satya wacana yaitu setia dan jujur dalam berkata-kata, satya semaya yaitu selalu menepati janji, tidak pernah ingkar kepada janjinya, satya laksana yaitu jujur dan bertanggung jawab terhadap apa yang diperbuat dan satya mitra yaitu selalu setia kepada teman dan tidak pernah berkhianat, (4) awyawahara (melakukan usaha yang bersumber pada kedamaian dan ketulusan hati), dan (5) asteya (tidak mencuri atau menggelapkan harta benda milik orang lain atau negara) (Sumartawan, 2004 : 44).
Dalam Wrhaspati Tattwa ada diajarkan Dasasila yang pada dasarnya mengajarkan Panca Yama dan Panca Niyama. Panca Yama yang dimaksud terdiri dari : (1) Ahimsa, (2) Brahmacari, (3) Satya, (4) Awyawahara, dan (5) Asteniya. Ahimsa artinya tidak membunuh, Brahmacari  artinya tidak ingin kawin, Satya artinya tidak berbohong, Awyawahara artinya tidak berperkara, tidak melakukan jual beli, tidak mempersoalkan benar salah, Asteniya artinya tidak mencuri, tidak mengambil milik orang lain tanpa ijin (Putra, 1988 : 72). Jika dibandingkan dengan yang diajarkan dalam Silakrama ajaran Panca Yama Brata tersebut ada kesesuaian.
Di samping hal tersebut di atas, ajaran Panca Yama Brata termuat pula Yoga Sutra II.30 sebagai berikut : “ahimsa satyateya brahmacarya parigraha yamah”. Maksudnya Yama (pengendalian diri) terdiri atas : (1) Ahimsa (kasih sayang), (2) Satya (kebenaran), (3) Asteya (tidak mencuri), (4) Brahmacarya (pengendalian hawa nafsu), (5) Aparigraha (hidup sesuai kebutuhan) (Tim Penyusun, 2011 : 19).
Jika diperhatikan antara kedua ajaran Panca Yama Brata baik yang termuat dalam Silakrama maupun Yoga Sutra, yang sama adalah : Ahimsa, Brahmacarya, Satya, dan Asteya. Sedangkan yang berbeda adalah Awyawahara terdapat dalam Silakrama, sedangkan Aparigraha termuat dalam Yoga Sutra. Namun demikian semuanya mengandung prinsip-prinsip ajaran pengendalian diri.


4) Panca Niyama Brata
Panca Niyama Brata adalah lima cara pengendalian diri lanjut (tahap kedua) untuk dapat tercapainya kesempurnaan dan kesucian batin (Sumartawan, 2004 : 53). Terkait dengan ini pustaka Sillakrama menyatakan sebagai berikut :
Akrodha gurususrusa
Saucam aharalaghawam
Apramadac ca pancaite
Niyamah siawabhasitah
Artinya :
Yang bernama akrodha ialah tidak suka marah, yang bernama guru susrusa, ingin berhubungan rapat dengan guru, karena ingin mendengar pelajaran dari guru, yang bernama sauca selalu saucarcara (mendoa, mohon kebersihan lahir batin) terhadap Tuhan. Yang bernama aharalaghawa, tidak sembarangan (makanan) dimakan, apramada namanya tidak segan-segan membiasakan ajaran kependetaan (kerohanian). Kelima itu, bernama Niyama Brata sabda Bhatara Siwa (Punyatmadja, 1984 : 61-62).

Berdasarkan kutipan di atas bahwa Panca Niyama Brata dimaksud adalah: (1) Akrodha, (2) Guru Susrusa, (3) Sauca, (4) Aharalaghawa, dan (5) Apramadha yang merupakan ajaran pengendalian diri untuk mengantisipasi prilaku negative atau menyimpang dan dapat mewujudkan prilaku etis demi tercapainya kesucian lahir batin.
Dalam Wrehaspati Tattwa juga mengajarkan Panca Niyama yang terdiri dari: (1) Akrodha, (2) Guru Susrusa, (3) Sauca, (4) Aharalaghawa, dan (5) Apramadha, Akrodha artinya tidak marah yang terkendali, Guru Susrusa artinya mengabdi, hormat kepada guru, Sauca artinya teratur beribadah dan menyucikan lahir batin, Aharalaghawa artinya makan berlebihan, dan Apramadha artinya tidak berbuat sembarangan (Putra, 1988 : 72). Jika dibandingkan dengan yang diajarkan dalam Silakrama ajaran Panca Niyama Brata tersebut juga ada kesesuaian.
Sama halnya dengan ajaran Panca Yama Brata, bahwa Panca Niyama Brata di samping termuat dalam Silakrama juga terdapat  dalam Yoga Sutra. Dalam Yoga Sutra II.32 dinyatakan: “ sauca santosa tapah svadhyayesvarapranidhanani niyamah”. Maksudnya Niyama (aturan-aturan) adalah (1) Sauca (menjaga kebersihan dan kesucian), (2) Santosa (sabar dan sentosa), (3) Tapah (bertapa), (4) Swadhyaya (membaca buku-buku suci), dan (5) Iswarapranidhana (merenungkan nama-nama Tuhan) (Tim Penyusun, 2011 : 20).
Jika diperhatikan di antara kedua pustaka di atas, nampaknya ajaran yang sama adalah hanya Sauca, sedangkan yang lainnya berbeda. Akrodha, Guru Susrusa, Aharalaghawa dan Apramadha terdapat dalam Silakrama, sedangkan Santosa, Tapah, Swadhyaya, dan Iswarapranidhana termuat dalam Yoga Sutra. Namun demikian semua ajaran dimaksud merupakan ajaran pengendalian diri yang amat penting bagi kehidupan manusia.

5) Dasa Yama Brata
Ajaran Dasa Yama Brata ada termuat dalam kitab Sarasamusccaya 259 sebagai berikut :
Anrsamsyam ksama
Styamahimsa dama arjavam,
Pritih prasado madhuryam
Mardavam ca yama dasa         
Artinya :
Inilah brata yang disebut yama, perinciannya demikian : anrsangsya, ksama, satya, ahimsa, dama, arjawa, priti, prasada, madhurya, mardawa, sepuluh banyaknya. Anrsangsya yaitu harimbawa, tidak mementingkan diri sendiri saja; ksama, tanah akan panas dan dingin; satya, yaitu tidak berkata berbohong (berdusta); ahimsa, berbuat selamat atau bahagianya sekalian makhluk; dama, sabar serta dapat menasehati dirinya sendiri; arjawa, adalah tulus hati berterus terang; priti, yaitu sangat welas asih; prasada, kejernihan hati; madhurya, manisnya pandangan (muka manis) dan   manisnya   perkataan   (perkataan  yang   lemah  lembut); mardawa,
kelembutan hati (Kadjeng, 1994 : 195).
Dasa Yama Brata adalah sepuluh pengendalian diri (anrsangsya), ksama, satya, ahimsa, dama, arjawa, priti, prasada, madhurya, madawa) guna mewujudkan sifat-sifat utama atau luhur. Jadi penekanannya di sini adalah ajaran yang menekankan pada pengekangan, dan pengendalian nafsu indria.

6) Dasa Nyama Brata
Dasa Nyama Brata merupakan suatu etika lanjutan dalam Agama Hindu yang lebih tinggi lagi tingkatannya. Sumartawan (2008 : 41) menyatakan bahwa : “Dasa Niyama Brata adalah sepuluh pengendalian diri dalam arti pengedalian sebagian besar mengarah ke dalam diri sendiri”.
Di dalam kitab Sarasamuccaya 260 dinyatakan sebagai berikut:

danamijya tapo dhyanam
svadhyayayopasthanigrahah,
vratopavasamaunam
ca snanam ca niyama dasa
Artinya :
Inilah brata sepuluh banyaknya yang disebut niyama, perinciannya : dana, ijya, dhyana, swadhayaya, upasthigraha, brata, upawasa, mona, snana; itulah yang merupakan niyama. Dana, pemberian, makanan minuman dan lain-lain; ijya, pujaan kepada dewa, kepada leluhur dan lain-lain sejenis itu; tapa, pengekangan nafsu jasmaniah, dhyana, terpekur merenungkan Siwa, swadhyaya, yakin mempelajari weda; upasthanigraha, pengekangan upastha, pengendalian nafsu sex; brata, pengekangan nafsu terhadap makanan dan minuman; mona, pengekangan kata, tidak berkata-kata atau tidak bersuara; snana, trisandhyasewana, mandi membersihkan diri pada waktu pagi, tengah hari dan petang hari (Kadjeng, 1994 : 202-203).

Dasa Niyama Brata terdiri dari : (1) Dana, (2) Ijya, (3) Tapa, (4) Dhyana, (5) Swadhyaya, (6) Upasthanigraha, (7) Brata, (8) Upawasa, (9) Mona, dan (10) Snana. Sepuluh ajaran etika inilah yang menekankan pada pengendalian indria guna lebih menyempurnakan pengendalian melalui cara Dasa Yama Brata.
Berdasarkan paparan di atas susila itu adalah segala bentuk tingkah laku yang dibenarkan oleh ajaran agama yang dapat menuntun manusia itu ke dalam hidup yang sempurna, bahagia lahir batin dan menuju kepada persatuan Atman dengan Brahman (Tuhan Yang Maha Esa). Ajaran tentang susila (etika Hindu) tersebut di atas bukan saja penting untuk di pahami, tetapi yang lebih penting lagi adalah untuk diamalkan sesuai dengan petunjuk-petunjuk agama, sehingga dapat terbentuk masyarakat yang berbudi luhur dan mulia. Apabila sudah bertentangan
dengan ajaran susila di atas berarti seseorang telah melanggar ajaran agama.
2.3      Sabha Parwa
Sabha Parwa terdiri dari 2 (dua) kata yaitu Sabha dan Parwa, dalam kamus Bahasa Jawa Kuna Indonesia disebutkan “Sabha berarti pertemuan atau rapat masyarakat-masyarakat terpandang”(P.J.Zoetmulder,2004:722). Sedangkan kata Parwa dalam Kamus Bahasa Jawa Kuna Indonesia disebutkan bahwa “Parwa berarti cerita prosa atau bagian (buku) epik Mahabharata” (P.J.Zoetmulder,2004:531).
Berdasarkan pendapat tersebut maka Sabha Parwa adalah cerita mengenai pertemuan atau rapat masyarakat-masyarakat terpandang. Sabha Parwa merupakan bagian atau epik dari kisah Mahabharata dan merupakan parwa bagian ke dua dari delapan belas bab epos besar Mahabharata.




BAB  III
METODE PENELITIAN

3.1              Metode Penelitian Sastra

            Menurut Gantini (2005:16) menyatakan “metode penelitian sastra  digunakan untuk menganalisis struktur cerita dan hermeneutik”. Selain itu, upaya mendeskripsikan masalah sastra yang bersifat unik dan universal sebagai objek penelitian. Hudayat (2007:1) menyatakan bahwa : “metode penelitian sastra merupakan alat penting dalam mewujudkan sebuah penelitian sastra yang memadai”. Kutha Ratna (dalam Hudayat,2007:2-6) membagi penelitian sastra dalam beberapa metode yaitu metode intuitif, hermeneutik, metode formal, analisis isi, dialektika, deskriptif analisis, deskriptif komparatif, dan deskriptif induktif. Metode Hermeneutik adalah metode yang digunakan untuk mencari makna yang paling optimal, untuk menghindarkan keterbatasan proses interpretasi, dengan titik pijak yang jelas. Metode formal adalah analisis dengan mempertimbangkan aspek-aspek formal, yang mengarah pada unsur karya sastra. Metode dialektika adalah metode yang memiliki mekanisme tesis, antitesis, dan sintesis yang prinsip dasarnya adalah unsur yang satu harus lebur ke dalam unsur lainnya dengan cara setiap fakta sastra dapat dianggap sebagai tesis kemudian diadakan negasi. Dengan adanya pengingkaran, tesis dan antitesis seolah-olah hilang atau berubah menjadi kualitas fakta yang lebih tinggi, yaitu sintesis itu sendiri. Sintesis kemudian menjadi tesis kembali dan seterusnya sehingga proses pemahaman terjadi secara terus-menerus. Metode deskriptif analisis adalah merupakan metode penelitian dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang selanjutnya disusul dengan analisis. Metode ini tidak hanya menguraikan saja tetapi memberikan pemahaman dan penjelasan.
            Sehubungan dengan uraian di atas, maka metode penelitian sastra adalah metode penelitian sastra yang dapat digunakan menganilisis struktur cerita dan hermeneutik sebagai upaya mendeskripsikan suatu masalah sastra yang bersifat unik dan universal sebagai objek penelitian. Adapun penelitian sastra yang digunakan adalah metode hermeneutik dan deskriptif analisis yaitu dengan mencari   makna   yang   terkandung   dalam   sastra   secara   optimal   dengan
mendeskripsikan fakta-faktanya selanjutnya dilakukan suatu analisis.
3.2              Metode Pendekatan Penelitian Sastra
            Menurut Arikunto (2006:25) dijelaskan “pendekatan adalah metode atau cara mengadakan penelitian seperti halnya eksperimen atau non eksperimen”. Ini berati, menurut Arikunto pendekatan penelitian dapat dibagi dua yaitu pendekatan eksperimen dan pendekatan non eksperimen. Pendekatan eksperimen adalah suatu  cara untuk mencari hubungan sebab akibat antara dua faktor yang sengaja ditimbulkan oleh peneliti yaitu melakukan perlakuan. Sedangkan yang dimaksud dengan pendekatan non eksperimen adalah suatu pendekatan dimana hal yang diteliti sudah ada, sehingga tidak perlu dilakukan perlakuan.
            Menurut Sugiyono (2007:11) disebutkan bahwa metode pendekatan dapat dibagi tiga yaitu metode eksperimen, survei, dan naturalistik atau kualitatif. Selanjutnya ditekankan sebagai berikut:
Metode penelitian eksperimen adalah merupakan metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh treatment (perlakuan) tertentu. Metode survei digunakan untuk mendapatkan data dari tempat tertentu yang bersifat alamiah (bukan buatan), tetapi peneliti melakukan perlakuan dalam pengumpulan data, seperti :tes, wawancara terstruktur kuesioner dan sebagainya (perlakuan tidak seperti dalam eksperimen). Sedangkan metode penelitian naturalistik atau kualitatif adalah digunakan untuk meneliti pada tempat yang bukan alamiah, dan penelitian tersebut tidak membuat perlakuan karena peneliti dalam mengumpulkan data bersifat emic, yaitu berdasarkan pandangan dari sumber data bukan pandangan peneliti (Sugiyono,2007:11)
Dari pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa penelitian dapat dibagi menjadi tiga yaitu pendekatan eksperimen dan pendekatan non eksperimen. Pendekatan eksperimen adalah suatu pendekatan untuk mencari pengaruh dari suatu perlakuan yang diterapkan. Sedangkan pendekatan eksperimen yaitu suatu metode pendekatan dengan tanpa melakukan perlakuan karena hal yang diteliti sudah ada.
Metode pendekatan non eksperimen dapat dibagi dua yaitu metode pendekatan survei dan naturalistik. Metode survei digunakan mendapatkan data dari tempat tertentu yang bersifat alamiah (bukan buatan), tetapi peneliti melakukan perlakuan dalam pengumpulan data, seperti mengedarkan tes, wawancara terstruktur kuesioner dan sebagainya. Sedangkan metode penelitian naturlalistik atau kualitatif adalah digunakan untuk meneliti pada tempat yang bukan alamiah , dan penelitian tersebut tidak membuat perlakuan karena peneliti dalam mengumpulkan data bersifat emic, yaitu berdasarkan pandangan dari sumber data, bukan pandangan dari peneliti.
Dengan uraian di atas, maka pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan non eksperimen.Adapun metode non eksperimen yang digunakan yaitu pendekatan naturalistik atau kualitatif, dimana peneliti memperoleh hasil penelitinnya berdasarkan pandangan dari sumber data.
Abrams (dalam Hudayat,2007:39) dikemukakan ada empat komponen utama pendekatan sastra yang menjadi bagian penting dalam teori strukturlisme. Diantaranya ke empat pendekatan yang dimaksud adalah (1) pendekatan ekspresif, (2) pendekatan memesis, (3) pendekatan pragmatik, dan (4) pendekatan objek. Pendekatan ekspresif ini menempatkan  karya sastra sebagai curahan, ucapan, dan proyeksi pikiran dan perasaan pengarang. Pengarang sendiri menjadi pokok yang melahirkan produksi persepsi-persepsi, pikiran-pikiran, dan perasaan-perasaan yang dikombinasikan. Pendekatan mimesis dipertimbangkan pada dunia pengalaman, yaitu karya sastra itu sendiri yang tidak bisa mewakili kenyataan yang sesungguhnya melainkan sebagai peniruan kenyataan. Kemudian pendekatan pragmatik memberikan perhatian utama terhadap peranan pembaca. Sedangkan pendekatan objektif adalah memusatkan perhatian  pada unsur –unsur, antar hubungan dan totalitas. Pendekatan ini mengarah pada analisis intrinsik.
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan pragmatik karena dilakukan dengan membaca naskah dalam karya sastra Satua, sebab dimana situasi yang diselidiki adalah mengungkapkan penelitian tentang nilai etika dalam teks sabha
parwa.


3.3              Jenis dan Sumber Data
3.3.1        Jenis Data
            Subagyo (1997:97) menyatakan bahwa : “menurut jenis atau wujudnya, data dapat dibedakan menjadi dua yaitu data kualitatif dan data kuantitatif" Dijelaskan bahwa data kualitatif adalah data dalam bentuk uraian, sedangkan data kuantitatif diwujudkan dalam bentuk angka-angka. Marzuki (2003:55) menyatakan bahwa :’’kuantitatif bisa dihitung atau diukur sifatnya, banyaknya, besar gaji, lama belajar, sedangkan kualitatif diukur secara tidak langsung seperti keterampilan, aktivitas, sikap’’.
            Jadi dapat dijelaskan bahwa menurut jenisnya, data dapat dibagi menjadi dua yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif yaitu data dalam bentuk uraian-uraian atau kategori-kategori. Sedangkan data kuantitatif data yang diwujudkan dengan angka-angka.
Berdasarkan uraian di atas, maka data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, karena data yang dicari adalah uraian tentang keadaan atau sifat berupa diskrepsi kata-kata tertulis tentang nilai etika dalam teks Sabha
Parwa.
3.3.2        Sumber Data
            Apabila ditinjau dari sumber data yaitu dari mana memperoleh data, maka data dapat dibedakan menjadi dua,yaitu : (1) data primer dan data (2) data sekunder.
Menurut Sugiyono (2007:225) dijelaskan “Data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpulan data, sedangkan Data sekunder adalah data yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpulan data”.
Dalam buku Sosiologi dijelaskan bahwa :”Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber asli, sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh bukan dari sumber asli atau pertama” (Damayanti dan Rahmawati, 2006:17-18). Lebih lanjut dikemukakan oleh (Moleong, 1991:13)” Data primer yaitu data yang diperoleh dari sumber pertama”. Sedangkan “Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari sumber kedua. Seperti dokumen, literatur-literatur, maupun buku-buku dan sumber lainnya”.
            Jadi data primer dapat dikatakan sebagai data yang diperoleh melalui sumber pertama secara langsung atau data yang diperoleh dari sumber kedua secara tidak langsung yang berasal dari literatur, dokumen dan kepustakaan yang relevan dengan penelitian.
            Berdasarkan uraian di atas, maka yang dijadikan sebagai sumber data primer pada penelitian ini adalah berupa data yang diperoleh dari teks Sabha Parwa yang menjadi bahan kajian dalam penelitian ini, sedangkan sumber  data sekundernya adalah adalah data yang diperoleh dari kepustakaan-kepustakaan yang  ada  kaitannya  dengan  penelitian,  yang  hanya  bersifat  pelengkap  dan
pembanding data primer.
3.4              Metode Pengumpulan Data
            Dalam buku Petunjuk Proposal, “metode pengumpulan data adalah suatu cara yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah suatu cara yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian “(Riyanto, 2001:46). Di dalam buku Metodologi Penelitian Pendidikan dijelaskan bahwa “ada enam Metode pengumpulan data yaitu : tes, obsevasi, wawancara, angket, sisiometri, dan pencatatan dokumen” (Dwija, 2006:41). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode pengumpulan data yang paling relevan digunakan adalah metode pencatatan dokumen atau metode kepustakaan.
Dalam buku Metodologi Penelitian Pendidikan dijelaskan bahwa “pencatatan Dokumen adalah suatu cara untuk memperoleh data yang dilakukan dengan jalan mengumpulkan segala macam dokumen serta mengadakan pencatatan secara sistematis”. (Dwija, 2006:70).
Berdasarkan pendapat di atas, dapat dijelaskan bahwa metode pengumpulan data merupakan hasil pencatatan peneliti baik berupa kuantitas dengan menggunakan alat yang tepat untuk memungkinkan tercapainya data yang positif.
            Bertitik tolak dari pendapat tentang metode pengumpulan data tersebut, maka terkait dengan penelitian ini, peneliti menggunakan pencatatan dalam hal pengumpulan data mengenai parwa yang ada sangkut pautnya dengan teks Sabha
Parwa.
3.5              Metode Pengolahan Data
            Setelah mengumpulkan dan memperoleh data yang diperlukan, langkah selanjutnya adalah mengelola data atau menganalisisnya. Untuk dapat memberikan gambaran sesuai dengan tujuan penelitian maka data yang terkumpul perlu diolah dengan mempergunakan Metode Pengelolaan Data.
Menurut Moloeng (1996:207), ada tiga jenis metode analisis data yaitu:
(1)Metode deskriptif adalah cara pengelolaan data dengan jalan menyusun secara sistematis  sehingga diperoleh suatu kesimpulan secara umum, (2) Metode komparatif adalah suatu cara pengelolaan data dengan mengadakan perbandingan data-data yang satu dengan yang lainnya sehingga mendapatkan kesimpulan umum, dan (3) Metode analisis adalah suatu cara yang  dilakukan  dengan jalan  mempergunakan  suatu  teknik
tertentu, sehingga diperoleh hasil.
                        Jadi dapat dijelaskan bahwa metode pengolahan data untuk data kualitatif dapat dibagi menjadi tiga yaitu: (1) Metode Deskriptif, Metode deskriptif adalah suatu cara pengelolaan data yang dilakukan dengan jalan menyusun secara sistematis data hasil penelitian sehingga diperoleh suatu sistematis data hasil penelitian sehingga diperoleh suatu kesimpulan umum. (2) Metode Komparatif,
Metode komparatif adalah suatu cara pengelolaan data yang dilakukan dengan mengadakan perbandingan secara sistematis serta terus-menerus sehingga diperoleh suatu kesimpulan. (3) Metode Analisis, Metode analisis adalah dengan suatu cara pengelolaan data yang dilakukan dengan jalan mempergunakan suatu teknik analisis tertentu sehingga diperoleh suatu dugaan atau kesimpulan.
            Berdasarkan uraian di atas dalam penelitian ini dipergunakan Metode Deskriptif yaitu cara pengelolaan data dengan jalan menyusun secara sistematis sehingga diperoleh suatu kesimpulan secara umum.
Azwar (1997:99-100) menyatakan bahwa:
Ada tiga teknik yang bisa digunakan dalam pengelolaan data, yakni (1) Teknik Induksi yaitu dengan mengemukakan fakta-fakta yang berlaku khusus, atas dasar ini ditarik kesimpulan, (2) Argumentasi yaitu dengan memberikan komentar atau alasan-alasan pada setiap kita menarik kesimpulan, (3)Teknis Spekulasi yaitu menggunakan ketajaman rasio atau akal pada setiap kita menarik kesimpulan.
           
            Dari uraian di atas teknik yang digunakan dalam pengolahan data untuk mencari struktur dan nilai etika dalam teks Sabha Parwa adalah teknik induksi dan argumentasi yaitu dengan cara terlebih dahulu mengemukakan fakta-fakta yang bersifat khusus kemudian menarik kesimpulan dan memberikan komentar dan alasan pada setiap kesimpulan.

MAKALAH INTERNET

BAB I PENDAHULUAN   1.1       Larat Belakang Pada awalnya Internet merupakan jaringan komputer yang dibentuk oleh Departemen Pertahana...

COMMENT