BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Peradaban
Agama Hindu yang telah berlangsung dalam kurun waktu yang sangat panjang telah
melahirkan berbagai bentuk kebudayaan. Salah satu wujud kebudayaan yang
dihasilkan ialah berbagai bentuk kesusastraan. Bahkan kata sastra berasal dari
bahasa Sanskerta Sastra yang berarti
kitab suci, buku-buku yang berkaitan dengan ilmu-ilmu, kitab yang berisi ajaran-ajaran
(Sharma dalam Mayuni dkk, 2013 : vii). Sehubungan dengan hal tersebut, kata Kesusastraan dalam bahasa Indonesia
berhubungan dengan arti kata Sastra
dalam bahasa Sanskerta tersebut.
Oleh karenanya,
khazanah kesusastraan dalam lingkup kebudayaan Indonesia yang mengandung ajaran
Agama Hindu disebut pula kesustraan Hindu dalam arti sebagai “segala hasil
cipta baik lisan maupun tertulis dengan berbagai medium yang berkaitan dengan
kitab suci, seni sastra, ilmu pengetahuan, dan ajaran-ajaran agama yang
memiliki berbagai ketentuan seperti keaslian (otentitas), keartistikan,
keindahan dalam isi, dan ungkapannya (estetika) yang berkaitan dengan sistem
agama dan kebudayaan Hindu (Jelantik dalam Mayuni dkk, 2013 : vii).
Berbagai
karya sastra telah dihasilkan dan menjadi warisan yang tidak ternilai. Pada
masa pemerintahan Maharaja Dharmawangsa Teguh Anantawikrama Tungga Dewa di Jawa
Timur sekitar lebih satu abad silam, yaitu antara abad IX dan abad X diadakan
sebuah upaya yang disebut Mangjawaken
Byasamata atau membahasajawakan ajaran-ajaran Bhgawan Byasa. Kitab-kitab Parwa (bagian dari Astadasaparwa atau Mahabharata
dibahasajawakan pada masa itu, dan menjadi candi pustaka bangsa Indonesia yang
lestari hingga kini (Agastia, 1994:v).
Transformasi berbagai
bentuk karya sastra dalam bahasa Sanskerta ke dalam bahasa-bahasa lain
menunjukkan adanya upaya pemahaman terhadap ajaran-ajaran Agama Hindu yang
terdapat di dalamnya. Kitab parwa
yang di dalam tradisi India disebut Astadasaparwa
karena terdiri dari 18 kitab parwa
dan disebut Mahabharata karena menceritakan kisah mahawangsa ksatrya Bharata dan merupakan kitab yang sangat penting
dalam lingkup kebudayaan Hindu.
Penelitian mengenai parwa dalam bentuk karya satra kekawin
sebagai hasil transformasi Astadasaparwa
oleh pujangga pada masa pemerintahan Maharaja Dharmawangsa Teguh Anantawikrama
Tungga Dewa di Jawa Timur telah dilakukan oleh ahli Jawa Kuna. Berg setelah
meneliti kitab parwa menyimpulkan
bahwa seluruh epik Mahabharata telah
diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa Kuna, tetapi beberapa parwa diantaranya telah hilang. Sebaliknya, Dr. Pigeaud dengan
tandas meyakinkan bahwa tidak seluruh parwa
dari delapan belas parwa yang
membangun kitab Mahabharata telah
dibahasajawakan. Demikian pula secara inplisit Zoetmulder juga menyampaikan
bahwa Adiparwa sampai Bhismaparwa (yaitu parwa pertama sampai keenam) merupakan bagian dari proyek komprehensif
yang meliputi seluruh epik Mahabharata.
Tetapi pada periode selanjutnya ada lagi kegiatan untuk membahasajawakan empat
buah parwa yang meliputi Asramawasa, Mausalaparwa, Prasthanikaparwa, dan Swargarohanaparwa. Menurut Agastya
(1994:13) kegiatan tersebut tampaknya dilakukan setelah hadirnya kakawin Baratayudha karya Mpu Sedah dan
Mpu Panuluh yang telah mengolah epos Mahabharata
sampai pada sebelum keempat parwa
tersebut yang berisi tentang kisah peperangan antara Korawa dan Pandawa,
setelah gugurnya Maharsi Bhisma.
Penelitian yang
berkesinambungan terhadap kitab-kitab parwa
dalam bahasa Jawa Kuna perlu dilakukan secara mendalam karena menyangkut karya
satra yang merupakan upaya transformasi ajaran Agama Hindu ke dalam lingkup
kebudayaan Indonesia. Sebagai upaya tranformasi yang berkelanjutan, tampaknya
penerjemahan kitab-kitab parwa yang
mendekati sumber aslinya perlu diupayakan. Penerjemahan kitab-kitab parwa lebih merupakan upaya untuk memahami
berbagai lapisan makna teks dalam kitab-kitab parwa yang membangun kitab Mahabharata.
Secara teoritis, penerjemahan merupakan salah satu upaya intertekstualitas
terhadap makna teks hipogram yang berbahasa Sanskerta.
Sejak zaman kerajaan
kisah-kisah besar seperti Mahabharata
dan Ramayana sudah berkembang di
tengah-tengah masyarakat. Para pecintanya mengibaratkan Mahabharata dan Ramayana
bagai samudra maha luas yang mengandung berbagai mutiara ajaran dharma, artha, kama dan moksa yang tak habis habisnya. Dan
kenyataannya hingga kini mutiara-mutiara epos tersebut masih bertahan dan tak
lekang oleh zaman. Selalu ada hal yang menarik juga relevan untuk menentukan
nilai-nilai kehidupan.
Dalam perjalannya, memang banyak
penafsiran para dalang yang dikenal dengan sebutan cerita kawi pedalangan atau cerita carangan
yang hidup dan berkembang seiring kejadian dalam kehidupan sosial masyarakat.
Cerita-cerita ini menjadi menarik dan bertahan sesuai imajinasi yang muncul
dari para dalang mengikuti alur kejadian sosial kemasyarakatan sebagai warisan
karya pujangga zaman kerajaan Jawa Kuno.
Kesusastraan Jawa Kuna hidup dan
berkembang di Bali. Selain terkenal dengan keindahan alamnya, Bali juga
terkenal dengan seni dan kebudayaannya. Epos Mahabharata dan Ramayana
yang telah dibahasajawakunakan banyak yang diselamatkan dan dikembangkan di Bali.
Beberapa di antara kekawin yang
babonnya berasal dari kedua epos besar di atas, disalin ke dalam lontar dan
didokumentasikan oleh masyarakat Bali. Dalam perkembangan selanjutnya banyak
naskah berbahasa Jawa Kuna oleh tokoh seniman dan budayawan Bali di samping
disalin atau digandakan dengan media lontar, ada juga yang digubah kembali
dalam bentuk satua. Beberapa satua atau cerita dimaksud, seperti satua Bima Suarga, dan Sang Karna.
Perpustakaan yang menyimpan
naskah-naskah berbahasa Jawa Kuna baik dalam bentuk lontar atau yang telah
dialihaksarakan seperti : Gedong Kirtya, Dinas Kebudayaan Propinsi Bali, Musium
Bali, Perpustakaan Fakultas Sastra Unud, dan Perpustakaan Unhi Denpasar.
Parwa
merupakan salah satu karya sastra yang perkembangannya sudah dari dulu.
Penyampaian parwa pada saat itu
dilakukan secara lisan oleh para orang tua kepada anaknya. Parwa yang disamapaikan tersebut merupakan cerita sejarah yang
diangkat dari kisah Mahabharata (Astadasa Parwa)
dan dalam parwa tersebut banyak terkandung
nilai-nilai maupun nasihat yang bisa dijadikan pedoman bagi yang membacanya.
Seiring perkembangan zaman, parwa
sudah ada disampaikan secara tertulis yaitu berupa buku-buku kumpulan parwa. Namun kebanyakan masyarakat
sekarang khususnya para orang tua enggan memberikan cerita parwa kepada anaknya dengan alasan mereka sibuk dengan pekerjaannya
masing-masing. Kebanyakan masyarakat sudah mulai melupakan cerita-cerita
tradisional seperti halnya parwa yang banyak memiliki nilai-nilai
etika dan pendidikan. Masyarakat khususnya orang tua terkadang bingung dan
tidak bisa menentukan cerita ataupun parwa
yang sesuai untuk disampaikan kepada anak-anaknya.
Masyarakat sudah mulai melupakan
cerita-cerita tradisional seperti halnya parwa
dapat menghambat perkembangan kesusastraan itu sendiri. Kekhawatiran itu
muncul sebagai akibat dari kemajuan teknologi yang begitu pesat. Hal itu
terbukti dipergunakannya alat-alat elektronik dan media cetak seperti radio,TV,
majalah, komik, dan masih banyak lagi sebagai sarana penyalur informasi baik
yang bersifat menghibur, dan mendidik, khususnya pada anak-anak dan juga masyarakat
dewasa.Tetapi cerita yang disampaikan pada umumnya cerita yang sudah berkembang
dan semakin maju sesuai dengan perkembangan zaman. Kebanyakan masyarakat yang
sudah terkena modernisasi, mengalami perkembangan dan kemajuan iptek beranggapan bahwa parwa merupakan hal yang
kuno dan ketinggalan zaman khususnya bagi masyarakat perkotaan.Tetapi tidak
demikian dengan parwa khususnya yang
banyak mengandung nilai etika dan pendidikan, perlu digali dan dikembangkan
kembali pada masyarakat sehingga mampu berperan sebagai media pendidikan dalam
berprilaku dengan harapan anak-anak dapat memilih jalan yang baik untuk diikuti
dan jalan yang tidak baik untuk dihindari.
Begitu halnya dengan Sabha Parwa ini bukan saja sebagai penghibur anak-anak, tetapi
dibalik itu menyajikan suatu pendidikan dalam berprilaku bagi pendengarnya. Menariknya
isi Sabha Parwa karena dianggap dalam
cerita tersebut mengandung nilai-nilai serta makna yang sangat penting untuk
diketahui, bukan hanya untuk anak-anak kecil, tetapi dari cerita tersebut dapat
meningkatkan pemahaman nilai etika terhadap generasi muda dan generasi tua untuk
berprilaku dalam kehidupan sehari-hari. Karena dalam cerita tersebut dikisahkan
seseorang yang rendah hati dan bijaksana akan selalu mendapat kemenangan,
sedangkan seseorang yang selalu iri hati dan memiliki kecemburuan yang amat
besar pada kebahagiaan orang lain akan selalu merasa kalah. Dengan demikian
pembaca atau pendengar akan dapat memilih prilaku yang benar dan harus
dilakukan dalam kehidupan ini. Sabha Parwa
tersebut sudah diterjemahkan ke dalam bentuk bahasa Indonesia sehingga
mempermudah pembacanya untuk memahami isi teks
parwa tersebut.
Berdasarkan hal di atas, dirasa
menarik untuk diteliti tentang parwa khususnya
Sabha Parwa guna diketahui lebih jauh
tentang struktur dan nilai etika dalam teks parwa tersebut. Untuk itu diadakan penelitian dengan judul “Analisis Struktur dan Nilai Etika Hindu dalam
Sabha Parwa”.
1.2
Indentifikasi
Masalah
Dari latar belakang yang dikemukakan
di atas dapat diidenfikasi masalah sebagai
berikut:
1.2.1
Belum banyak generasi muda mengetahui
tentang pentingnya Sabha Parwa terhadap kehidupan
bermasyarakat.
1.2.2
Belum banyak masyarakat yang tahu
tentang riwayat penerjemah Sabha Parwa.
1.2.3
Baru sedikit masyarakat yang tahu waktu diterjemahkannya Sabha Parwa.
1.2.4
Tidak banyak masyarakat yang paham
mengenai struktur naratif Sabha Parwa.
1.2.5
Belum banyak masyarakat yang tahu
tentang ajaran etika Hindu yang terkandung dalam Sabha Parwa.
1.3
Rumusan
Masalah
Sesuai
latar belakang dan identifikasi masalah di
atas, dirumuskan masalah sebagai
berikut:
1.3.1
Bagaimana struktur naratif Sabha
Parwa?
1.3.2
Bagaimana ajaran etika Hindu dalam Sabha Parwa?
1.4
Tujuan
Penelitian
Sehubungan dengan hal di atas, maka
dapat dikemukakan tujuan penelitian sebagai berikut :
1.4.1
Untuk mengetahui struktur naratif Sabha Parwa.
1.4.2
Untuk mengetahui ajaran etika Hindu dalam Sabha Parwa.
1.5
Manfaat
Penelitian
Penelitian yang dilakukan, di samping
mempunyai tujuan juga memiliki manfaat, sehingga memiliki dayaguna baik bagi peneliti
maupun pihak lain. Penelitian ini dapat bermanfaat secara teoretis dan praktis.
1.5.1
Manfaat Teoretis
Hasil penelitian diharapkan dapat
dijadikan sumber bacaan, sumber informasi
dan diharapakan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan bagi para pembaca
khususnya yang berkaitan dengan karya sastra parwa.
1.5.2
Manfaat Praktis
Hasil peneletian ini diharapkan dapat
bermanfaat bagi praktisi, budayawan, seniman, masyarakat luas dan
siswa/mahasiswa untuk dapat menambah
wawasan mengenai karya sastra khususnya parwa,
selain itu juga menjadi pedoman pengajaran etika Hindu dari orang tua atau guru
kepada anaknya atau siswanya agar dapat berprilaku yang baik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Struktur Naratif Karya
Sastra
Mengenai
pengertian struktur naratif Pariyatna (2006 : 15) menyatakan bahwa : “ Struktur
naratif merupakan suatu bagian dari keseluruhan karya sastra, mengulas tentang bentuk atau kemasan dalam menampilkan karya sastra itu dan memiliki
hubungan yang signifikan dengan isi yang dikandungnya”. Struktur naratif yang dimaksud adalah sinopsis, tema, tokoh, alur
dan latar . kemudian Wisnu (2001 : 33)
menyatakan bahwa : “struktur naratif adalah salah satu bagian dari keseluruhan
struktur karya yang mengulas tentang bentuk dalam menampilkan suatu karya sastra.
Di
samping itu struktur naratif lebih menekankan pada suatu kejadian yang saling
berhubungan. Kejadian-kejadian yang saling berhubungan tersebut merupakan unsur-unsur
yang membentuk alur. Menurut Cristianson (1988 : 30) bahwa kejadian-kejadian
yang akan menjadi suatu alur apabila kejadian-kejadian tersebut tersusun dalam
suatu urutan waktu tertentu. Susunan kejadian-kejadian tersebut membentuk tipe
ketegangan naratif dalam sebuah alur cerita. Lebih lanjut, Kent (1986 : 61)
menjelaskan bahwa “sistem teks memaparkan kepada kejadian yang mendahuluinya
berdasarkan pada beberapa kemungkinan
yang berurutan”. Sedangkan pendapat lain di kemukakan “naratif pada dasarnya
adalah unsur-unsur yang secara keseluruhan membentuk karya sastra” (Sukada,
1987:15).
Berdasarkan
pendapat di atas, maka dapat dijelaskan bahwa struktur naratif merupakan
serangkaian kejadian yang saling berhubungan yang tersusun dalam suatu urutan
aktu tertentu, di samping itu pula merupakan suatu cerita yang bertujuan untuk
menghibur, serta mempertahankan perhatian pembaca atau pendengar cerita.
Berdasarkan hal itu struktur naratif teks Sabha
Parwa adalah salah satu bagian dari karya sastra yang berbentuk prosa yang diikat oleh struktur. Struktur naratif terdiri
: sinopsis, tema, tokoh/penokoh, latar/setting, alur/plot,
dan amanat.
2.1.1
Sinopsis
Penyajian
sinopsis dalam karya sastra berupa ringkasan yang disajikan secara umum sebagai
gambar awal dari proses penulisan. Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995 : 946) menyebutkan bahwa,
Sinopsis adalah : “ikhtisar karangan ilmiah yang biasanya diterbitkan
bersama-sama dengan karangan asli yang menjadi dasar sinopsis itu, atau disebut ringkasan atau abstraksi”.
Senada dengan pendapat di atas Hardinawati (2003 : 634) menyatakan bahwa : “sinopsis adalah ikhtisar karangan, biasanya
diterbitkan bersama karangan aslinya”. Sinopsis menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesi oleh Tim Prima Pena (tt : 598) kata
benda abstraksi, ringkasan cerita ini yang ditampilkan di depan cerita yang
utuh.
Dalam
penyajian sinopsis karya sastra merupakan suatu ringkasan yang disajikan secara
umum sebagai gambaran awal dalam proses penulisan. Sinopsis disebut juga
sebagai bahan acuan awal dalam menjelaskan keterkaitan cerita dari awal sampai
akhir. Gambaran secara umum yang mencakup permasalahan yang jelas maka pembaca
dapat memahami apa yang
disajikan dalam penulisan
selanjutnya.
2.1.2 Tema
Brooks
dan Warren (dalam Sukasti, 2011 : 17) dinyatakan “Tema adalah pandangan hidup,
perasaan mengenai kehidupan atau rangkaian dari nilai-nilai tertentu yang
membentuk atau bangun dasar, atau gagasan utama dari suatu karya sastra”.
“Pernyataan
dasar yang perlu disampaikan untuk mendapat tema suatu cerita adalah motivasi
yang melatar belakangi gerak tokoh-tokohnya, apa masalahnya, bagaimana
penyelesaiannya”. Staton (dalam Sukasti,
2011 : 17). Sedangkan Aminudin, (1987 : 91) mengatakan bahwa tema adalah
“tempat meletakkan suatu perangkat, merupakan ide yang mendasari suatu cerita,
yang berperan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya
sastra yang tidak begitu mudah untuk dipahami”.
Tema
juga dimasukan : “pokok pikiran, dasar cerita yang dipercakapkan dipakai
sebagai dasar pengarang, mengubah sajak dan sebagainya” (Tim Penyusun, 1995 :
1029 ). Dalam kamus sastra Indonesia disebut bahwa : “tema adalah gagasan, ide pokok dasar
cerita” ( Arifin, 1991 : 129 ).
Berdasarkan
pendapat di atas, maka tema adalah dasar
cerita yang dipakai
sebagai pangkal tolak pengarang dalam mengubah suatu karya sastra.
2.1.3
Tokoh/Penokohan
Tokoh
memegang peranan penting dalam sebuah cerita, maupun dalam penulisan naskah
drama. Dalam kamus istilah sastra disebutkan,
tokoh adalah : “orang yang memainkan peran dalam karya sastra”. Dalam kaitannya
dengan tokoh, maka penokohan adalah : proses penampilan seorang tokoh dengan
pemberian watak, sifat, atau kebiasaan tokoh pemeran suatu cerita”. (Abdul
Rozak Zaidan dk, 1996 : 206 ). Watak adalah sikap dan prilaku tokoh yang menjadi
dasar penampilan tokoh dalam cerita rekaan dan drama (Abdul Rozak zaidan, dkk 1996 : 214). Terkait
masalah watak , maka perwatakan
adalah pemberian watak atau pelukisan watak pada masing-masing tokoh dalam
cerita.
Jadi
dapat dijelaskan bahwa tokoh adalah idividu-idividu rekaan yang mengalami
peristiwa atau perlakuan serta memegang peranan dalam cerita yang memiliki
watak tertentu. Biasanya dalam cerita, penokohan terdiri dari peran utama,
peran sampingan atau peran pembantu.
Bardasarkan
fungsinya tokoh dan penokohan dalam cerita dapat dibedakan antara tokoh primer
(tokoh utama), (2) tokoh skunder (tokoh kedua), (3), dan (4) tokoh komplementer
(tokoh pelengkap) (Sukada, 1987 : 62). Kriteria untuk menentukan dengan melihat
intensitas keterlibatan tokoh dalam peristiwa yang membangun cerita baru.
Penokohan dari para tokoh dapat terungkap oleh (1) tindakannya, (2) ujarannya,
(3) pikirannya, (4) penampilan pisiknya, dan (5) apa yang dikatakan atau
dipikirkan tokoh tentang dirinya (Minderop, 2005 : 22)
Jadi
dapat dijelaskan dalam tokoh sebuah karya sastra terdiri dari dua kelompok
yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan atau tokoh pembantu, dimana antara tokoh
dan penokoh terdapat timbal balik yang saling melengkapi, yang mana tokoh itu
merupakan objek atau pelaku dalam suatu cerita. Sedangkan penokohan menunjukan
pada sikap, sifat yang berkaitan dengan kualitas pribadi seorang tokoh,
sehingga dengan adanya tokoh / penokohan pada suatu cerita akan
terjalin cerita seperti yang kita harapkan.
2.1.4
Latar
Menurut
Sudjiman (1986 : 44) menyatakan bahwa : “latar adalah segala keterangan
petunjuk yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa
dalam suatu karya sastra yang membangun latar cerita”. Kemudian Nurgiantoro
(2000 : 227) mengemukakan bahwa : “unsur latar dapat dibedakan ke dalam unsur pokok, waktu,
dan sosial”. Sedangkan dalam Kamus Pintar
Berbahasa Indonesia disebutkan budaya didalam cerita” (Bahrudin, 2006 :
76).
Berdasarkan
pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa latar adalah suatu keterangan mengenai ruang, tempat dan
waktu terjadinya peristiwa dalam sebuah karya sastra. Latar tersebut
meliputi : (1) latar tempat, (2) latar waktu, (3) dan latar budaya
2.1.5
Alur/Plot
Menurut Luxemburg ( 1984 : 149 )
dinyatakan “ Alur adalah peristiwa yang
secara logis dalam kronologis saling berkaitan yang di akibatkan atau dipahami
sebagai jalanan peristiwa dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu “. Dalam
Kamus istilah Sastra disebut “ alur adalah unsur
struktur yang berwujud jalinan peristiwa di dalam karya sastra yang memperlihatkan kepaduan
tertentu yang diwujudkan antara lain hubungan sebab akibat, tema, atau
ketiganya “ ( Abdul Rozak Zaidun dkk, 1996 : 26 ).
Dalam buku Apresiasi kesusastraan disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan alur adalah : “ rangkain peristiwa yang satu sama lain dihubungkan
dengan hukum sebab akibat “ (Sumardjo dan Saini , 1986 : 139. Sedangkan
Retnoningsih (1985 : 12) menyatakan bahwa alur adalah “ suatu rentetan kejadian
antara satu dengan yang lainnya, sehingga menimbulkan terjadinya sebab dan
akibat “.
Dari beberapa pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa alur
merupakan struktur rangkaian atau rentetan kejadian dalam karya sastra yang
disusun sebagai urutan penceritaan yang berwujudan jalinan cerita yang
koherensi, yang diwujudkan oleh hubungan sebab akibat dalam menuangkan ide, motif
dalam suatu karya sastra.
2.1.6 Amanat
Amanat juga memegang peranan yang sangat penting
dalam sebuah karya sastra, tanpa amanat karya sastra yang akan diciptakan tidak
akan memiliki nilai dan manfaat yang dapat dipetik oleh para pembaca ataupendengar.
Karena selain sebagai penghibur karya sastra juga diciptakan untuk memberi
pesan dan nasehat bagi pembaca atau
pendengar. Ilang Arum Purwitasari menyatakan bahwa amanat adalahajaran moral
atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Sebagaimana
tema, amanat dapat disampaikan secara inflisit yaitu dengan cara memberikan
ajaran moral atau pesan dalam tingkah laku atau peristiwa yang terjadi pada
tokoh menjelang cerita berakhir, dan dapat pula disampaikan secara ekplisit
yaitu dengan penyampaian seruan, saran, peringatan, nasehat, anjuran, atau
larangan yang berhubungan dengan gagasan utama cerita.
Berdasarkan
pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa amanat adalah pesan yang ingin disampaikan
pengarang melalui
karyanya kepada pembaca
atau pendengar, pesan bisa berupa
harapan, nasehat, kritik, dan sebagainya. (http://pengertianpengertian.blogspot.com/2013/04/pengertain-amanat-dalam-cerita.html).
2.2 Pengertian Nilai
Nilai
memiliki arti yang beragam tergantung dari asfek yang dibicarakan. Narwoko, 2006 : 55) mengemukakan bahwa :
Nilai
adalah gagasan mengenai apakah suatu pengalaman itu berarti atau tidak berarti.
Nilai pada hakekatnya mengarahkan perilaku dan pertimbangan seseorang, tetapi
ia dapat menghakimi apakah sebuah perilaku tertentu itu salah atau benar. Nilai yang dianggap sah
artinya secara moral dapat diterima kalau harmonis dengan nilai-nilai yang
disepakati dan dijunjung oleh masyarakat dimana tindakan itu
dilakukan.
Selanjutnya
Koentjaraningrat (1977 : 677) menyatakan bahwa : “ Nilai adalah suatu hal yang
berisikan, yang mengkonsepsikan hal-hal penting, berguna dalam kehidupa
masyarakat “. Tim penyusun Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2001 : 783) menyatakan bahwa “ kata nilai mengandung arti
(1) sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan : (2)
suatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya “.
Dari
beberapa pendapat di atas, dapat dijelaskan bahwa nilai adalah suatu gagasan
yang mengkonsepsikan hal-hal yang penting atau berguna dalam bentuk prilaku
pada kehidupan masyarakat.
2.3 Etika Hindu
2.3.1
Pengertian
Etika Hindu
Secara
etimologi kata etika berasal dari kata ethos,
bahasa Yunani, yang berarti karakter kesusilaan atau adat. Kata etika sering
diidentikkan artinya dengan moral. Moral berasal dari kata mos, bahasa Latin yang dalam bentuk jamaknya mores, yang berarti cara hidup atau adat. Jadi kedua kata tersebut
(etika dan moral) menunjukkan cara berbuat yang menjadi adat karena persetujuan
atau praktek sekelompok manusia (Tim Penyusun, 1994 : 371).
Di dalam
perkembangannya etika merupakan suatu kajian tentang sistem nilai-nilai yang
ada, sedangkan moral adalah perilaku atau perbuatan manusia. Selanjutnya,
pengertian etika dapat dijelaskan : (1) Etika, adalah mencari kebenaran; dan
sebagai filsafat ia mencari informasi yang sedalam-dalamnya dan sistematis
tentang kebenaran, (2) Etika, adalah menyelidiki/mengkaji kebaikan manusia,
dalam hidup dan bertindak agar hidupnya bermakna, (3) Etika, adalah upaya (karma) manusia memakai keterampilan
fisik (angga) dan kecerdasan rohani (sukma sasira) yang terdiri dari pikiran
(manas), kecerdasan (buddhi) dan kesadaran murni (Atman) untuk memecahkan masalah
kehidupan agar menjadi baik dan sempurna.
Sederhananya,
etika merupakan studi tentang prilaku yang benar dan salah (dharna dan adharma), perilaku baik dan buruk (subha karma dan asubha karma) dan sifat kedewataan serta
keraksasaan (daiwi asuri sampad).
Etika
mempunyai arti yang sama dengan kata kesusilaan. Susila berasal dari bahasa Sanskerta, su berarti baik dan sila
berarti norma kehidupan. Jadi etika berarti kelakuan yang menuruti norma-norma
kehidupan yang baik.
Dalam
kehidupan sosial keagamaan Hindu, etika sering disebut dengan istilah tata susila.
Mantra dalam bukunya yang berjudul Tata
Susila Hindu Dharma, menjelaskan
bahwa tata susila berarti peraturan tingkah laku yang baik dan mulia yang
harus menjadi pedoman hidup manusia (Mantra, 1993 : 5).
Etika
dalam Agama Hindu adalah pengetahuan tentang kesusilaan berbentuk kaidah-kaidah
yang berisi larangan-larangan atau suruhan-suruhan untuk berbuat sesuatu. Jadi Susila/etika dalam Ajaran Agama Hindu
adalah peraturan tingkah laku dan kewajiban moral (akhlak) berbentuk kaidah-kaidah berisi larangan-larangan atau
suruhan-suruhan yang dijadikan pedoman hidup untuk menentukan mana yang baik
dan mana yang salah.
Sesuai
dengan uraian di atas, yang dimaksud etika Hindu adalah tata susila yaitu
peraturan tingkah laku yang baik dan yang mulia yang menjadi pedoman hidup
manusia.
2.3.1
Tujuan
Etika Hindu
Guna
mencapai kesempurnaan hidup, memerlukan etika. Tanpa etika, kehidupan manusia
tidak mungkin berjalan sebagaimana mestinya. Dalam hal ini etika memegang peran
penting dan sentral ajaran Agama Hindu, dengan pertimbangan sebagai berikut :
(1) Keberadaan
manusia, di samping tunduk kepada hukum alam (Rta), juga tunduk kepada hukum-hukum kehidupan bermasyarakat. Hal ini berbeda
dengan alam dan makhluk hidup di luar manusia, yang berlangsung secara
mekanisme dan tunduk kepada hukum alam saja.
(2) Posisi
hidup manusia, adalah berbeda dengan alam dan makhluk hidup lainnya yang hanya
diatur oleh hukum alam, sedangkan manusia tidak hanya diatur oleh hukum alam,
melainkan juga mengatur kehidupan dirinya sendiri dan kehidupan orang lain.
Posisi diatur dan mengatur dapat dikatakan sebagai fenomena khas insani, yakni
manusia menghadapi dua sisi realitas, keniscayaan (alami) dan kebebasan
(insani). Dalam teori Samkya
sebagaimana termuat dalam Bhagawadgita,
menyatakan bahwa manusia diciptakan oleh Ida
Sang Hyang Widhi dalam bentuk
yang paling sempurna, dan sekaligus dibekali dengan dua sifat yang antagonistis
yaitu daiwi sampad (kearifan) dan asuri sampad (keangkaramurkaan).
(3) Manusia
hidup di era Kaliyuga, dengan ciri-ciri
: kecenderungan segala referensi kebenaran telah diseragamkan dan ditempatkan
di bawah kekuasaan alat dan penilaian
yang materialistis; kecenderungan manusia mengabaikan nilai-nilai
spiritual; kecenderungan manusia mudah tersinggung, sehingga kondisi ini sangat
potensial terjadinya ketegangan yang pada gilirannya muncul konflik secara terbuka;
serta kecenderungan manusia mencapai tujuan dengan menghalalkan segala cara.
(4) Globalisasi,
sebagai fenomena dengan implikasinya mempengaruhi kelangsungan hidup seseorang
atau sekelompok orang. Mereka dihadapkan kepada kompetisi hidup yang ketat di
segala lini kehidupan, terjadi interaksi sosial multi budaya, perubahan yang
cepat yang diwarnai oleh ketidakpastian dan sulit diprediksi. Kesemuanya ini
menyebabkan kehidupan manusia dihadapkan kepada tekanan dan ketegangan mental
dan jiwa (Lali Yogantara, 2013 : 10).
Berhubungan
dengan uraian di atas, maka secara simgkat etika Hindu diperlukan dalam
mewujudkan harmonisasi kehidupan yang pada hakikatnya bertujuan untuk mencapai jagathita
dan moksa (kesejahtraan dan kebahagiaan
hidup).
2.3.2
Jenis-jenis
Etika Hindu
Ada beberapa ajaran susila (etika Hindu) yang wajib dan harus
dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari di antaranya adalah : Tri Kaya Parisudha, Catur Paramita, Panca
Yama Brata, Panca Niyama Brata, Dasa Yama Brata, dan Dasa Niyama Brata.
1) Tri
Kaya Parisudha
Tri Kaya Parisudha berasal
dari kata tri artinya tiga, kaya artinya tingkah laku dan parisudha berarti mulia atau bersih. Tri Kaya Parisudha dengan demikian
berarti tiga tingkah laku yang mulia (baik). Dalam Sarasamuccaya ajaran Tri Kaya
Parisudha disebut Karmapatha. Sarasamuccaya 73 menyatakan :
Manasa trividham caiva vaca
caiva caturvidham kayena trividam capi dasa karma pathacaret hana karmapatha
ngaranya, kahrtaning indriya,sapuluh kwehnya, ulahakena, kramanya,
prawrttyaning manah sakareng, telu kwehnya; ulahaning wak, pat, prawrttyaning
kaya, telu, panda, sapuluh, prawrttyaning kaya, wak, manah, kangeta.
Artinya
:
Adalah karmapatha
namanya, yaitu pengendalian hawa nafsu, sepuluh banyaknya yang patut
dilaksanakan; perinciannya : gerak pikiran tiga banyaknya, perilaku perkataan
empat jumlanya, gerak tindakan tiga banyaknya, jadi sepuluh banyaknya perbuatan
yang timbul dari gerakan badan, perkataan dan pikiran; itulah yang patut
diperhatikan (Kadjeng Dkk, 1994 : 64 ).
Terkait dengan pengertian Tri Kaya Parisudha, Sura (1985 : 94-99)
menyatakan bahwa:
Tri artinya tiga, kaya artinya gerak/badan dan parisudha artinya suci. Jadi Tri Kaya Parisudha adalah tiga gerak badan yang disucikan. Yang pertama kayika parisudha dapat dirumuskan
sebagai segala prilaku yang berhubungan dengan badan yang telah disucikan.
Selanjutnya yang kedua wacika parisudha. Hampir setiap orang
berkata-kata, bercakap-cakap untuk menyampaikan isi hatinya kepada orang lain.
Dan yang terakhir manacika parisudha ialah pikiran mendapat
perhatian besar dalam ajaran yoga,
karena pikiranlah sumber segala apa yang dilakukan orang, sumber
segala apa yang dikatakan orang.
Jadi ajaran Tri Kaya Parisudha dapat
dijadikan pedoman untuk hidup dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
Karena pikiran, perkataan, dan perbuatan yang dapat membuat seseorang
terjerumus ke dalam hal yang baik maupun buruk, maka dari itu harus bisa
mengendalikannya dan mengarahkan ke jalan yang baik. Supaya mendapat kehidupan
yang harmonis serta tentram sejahtera.
2) Catur Paramita
Dalam Yoga
Sutra I.33 ada dinyatakan : “Maitrikarunamuditopeksana sukhadukhapunyapunyavisayanam. Bhavanatascittaprasadanam” yang artinya
pikiran seorang yogi bisa mendapat
kabahagiaan bila bersahabat dengan orang-orang bahagia, mengasihi orang sedih,
senyum terhadap orang baik dan menjauhi orang jahat (Tim Penyusun, 2011 : 9).
Supeksa (2010 : 1) menyatakan bahwa : “Kata Catur Paramita berasal dari bahasa Sansekrta, dari kata catur yang berarti empat dan paramita berarti sifat dan sikap utama”.
Jadi Catur Paramita berarti empat
macam sifat dan sikap utama yang patut dijadikan landasan bersusila atau etika
dalam ajaran Agama Hindu. Pertama Maitri, yaitu semangat mencari kawan dan
bergaul, yakni tahu menempatkan diri dalam masyarakat, ramah tamah, serta
menarik hati segala perilakunya sehingga menyenangkan orang lain dalam
pribadinya. Kedua Karuna, artinya belas kasihan, selalu
memupuk rasa kasih sayang terhadap semua makhuk. Ketiga Mudita, artinya
selalu memperlihatkan wajah yang riang gembira, yakni penuh simpati terhadap
yang baik serta sopan santun. Keempat atau
yang terakhir yaitu Upeksa, artinya
senantiasa mengalah demi kebaikan, walaupun tersinggung perasaan oleh orang
lain, ia tetap tenang dan sesalu berusaha membalas kejahatan dengan kebaikan.
Ajaran Catur
Paramita termuat juga dalam kitab Sanghyang kamahayanikan, salah satu kitab Agama Budha, yang juga termasuk
kitab Agama Hindu. Dalam Sanghyang Kamahayanikan dinyatakan Metri yang berarti berusaha untuk
kebahagiaan segala makhluk utama. Kegiatan batin itu berusaha untuk segala yang
ada baik hina, sedang maupun yang mulia, cinta kasih terhadap sesama makhluk
dengan tiada mengharap pahalanya. Karuna,adalah
bentuk batik makhluk utama yang menghendaki terhapusnya segala penderitaan
makhluk. Mudita, artinya kebahagiaan
batin seorang makhluk utama oleh karena
melihat kebahagiaan sesama makhluk setelah ia berhasil melaksanakan Metri dan Karuna. Upeksa, artinya
tidak hirau (indifferent), acuh tak
acuh, keadaan batin seseorang yang tidak dapat dipengaruhi oleh benda-benda
lahiriah sehingga pikirannya dapat terpusatkan. Upeksa tidak lain dari berhasilnya samadhi, merupakan bentuk keseimbangan batin yang tidak
terpengaruhi lagi (Panitia Penyusun, 1980 : 131-142)
Jadi ajaran Catur Paramita patut
diupayakan dan direalisasikan dalam kehidupan ini, agar semua makhluk ciptaan
Tuhan bisa hidup berdampingan, serasi, harmonis, dan damai.
3) Panca Yama Brata
Panca Yama
Brata berasal dari tiga kata, yaitu panca berarti lima, yama artinya pengendalian diri dan brata yang berarti keinginan/kemauan (Sumartawan, 2004 : 46). Panca Yama Brata ialah lrima macam
pengendalian keinginan untuk tidak melakukan perbuatan melanggar susila. Dalam Silakrama ada dinyatakan sebagai berikut :
Ahimisa brahmacaryanca
Satyam awyawaharikam,
Astainyam iti pancate
Yama rudrena bhasitah
Artinya
:
Ahimsa dan brahmacari, Satya,
awyawahara, astainya, kelima ini disebut
yama (panca Yama Brata) oleh Dewa Rudra) (Punyatmadja, 1984 : 27).
Bagian-bagiannya adalah : (1) ahimsa (tidak menyakiti atau membunuh
makhluk lain), (2) brahmacari (tidak
melakukan hubungan kelamin selama masa belajar atau juga berarti pengendalian
terhadap nafsu seks), (3) satya
(kebenaran, kesetiaan, dan kejujuran). Ada lima jenis satya yang disebut Panca
Satya dan patut diperhatikan oleh umat Hindu, yakni: satya hredaya yaitu setia terhadap kata hati dan selalu konsisten
atau berpendirian teguh, satya wacana
yaitu setia dan jujur dalam berkata-kata, satya
semaya yaitu selalu menepati janji, tidak pernah ingkar kepada janjinya, satya laksana yaitu jujur dan
bertanggung jawab terhadap apa yang diperbuat dan satya mitra yaitu selalu setia kepada teman dan tidak pernah
berkhianat, (4) awyawahara (melakukan
usaha yang bersumber pada kedamaian dan ketulusan hati), dan (5) asteya (tidak mencuri atau menggelapkan
harta benda milik orang lain atau negara) (Sumartawan, 2004 : 44).
Dalam Wrhaspati
Tattwa ada diajarkan Dasasila yang pada dasarnya mengajarkan Panca Yama dan Panca Niyama. Panca Yama
yang dimaksud terdiri dari : (1) Ahimsa,
(2) Brahmacari, (3) Satya, (4) Awyawahara, dan (5) Asteniya.
Ahimsa artinya tidak membunuh, Brahmacari artinya tidak ingin kawin, Satya artinya tidak berbohong, Awyawahara artinya tidak berperkara,
tidak melakukan jual beli, tidak mempersoalkan benar salah, Asteniya artinya tidak mencuri, tidak
mengambil milik orang lain tanpa ijin (Putra, 1988 : 72). Jika dibandingkan
dengan yang diajarkan dalam Silakrama
ajaran Panca Yama Brata tersebut ada
kesesuaian.
Di samping hal tersebut di atas, ajaran Panca Yama Brata termuat pula Yoga Sutra II.30 sebagai berikut : “ahimsa satyateya brahmacarya parigraha yamah”. Maksudnya Yama (pengendalian diri) terdiri atas : (1) Ahimsa (kasih sayang), (2) Satya
(kebenaran), (3) Asteya (tidak
mencuri), (4) Brahmacarya
(pengendalian hawa nafsu), (5) Aparigraha
(hidup sesuai kebutuhan) (Tim Penyusun, 2011 : 19).
Jika diperhatikan antara kedua ajaran Panca Yama Brata baik yang termuat dalam
Silakrama maupun Yoga Sutra, yang sama adalah : Ahimsa,
Brahmacarya, Satya, dan Asteya.
Sedangkan yang berbeda adalah Awyawahara
terdapat dalam Silakrama, sedangkan Aparigraha termuat dalam Yoga Sutra. Namun demikian semuanya
mengandung prinsip-prinsip ajaran pengendalian diri.
4) Panca Niyama Brata
Panca Niyama
Brata adalah lima cara pengendalian
diri lanjut (tahap kedua) untuk dapat tercapainya kesempurnaan dan kesucian
batin (Sumartawan, 2004 : 53). Terkait dengan ini pustaka Sillakrama menyatakan sebagai berikut :
Akrodha gurususrusa
Saucam aharalaghawam
Apramadac ca pancaite
Niyamah siawabhasitah
Artinya
:
Yang
bernama akrodha ialah tidak suka
marah, yang bernama guru susrusa,
ingin berhubungan rapat dengan guru, karena ingin mendengar pelajaran dari
guru, yang bernama sauca selalu saucarcara (mendoa, mohon kebersihan
lahir batin) terhadap Tuhan. Yang bernama aharalaghawa,
tidak sembarangan (makanan) dimakan, apramada
namanya tidak segan-segan membiasakan ajaran kependetaan (kerohanian). Kelima
itu, bernama Niyama Brata sabda Bhatara
Siwa (Punyatmadja, 1984 : 61-62).
Berdasarkan kutipan di atas bahwa Panca Niyama Brata dimaksud adalah: (1) Akrodha, (2) Guru Susrusa, (3) Sauca,
(4) Aharalaghawa, dan (5) Apramadha yang merupakan ajaran
pengendalian diri untuk mengantisipasi prilaku negative atau menyimpang dan
dapat mewujudkan prilaku etis demi tercapainya kesucian lahir batin.
Dalam Wrehaspati
Tattwa juga mengajarkan Panca Niyama
yang terdiri dari: (1) Akrodha, (2) Guru Susrusa, (3) Sauca, (4) Aharalaghawa,
dan (5) Apramadha, Akrodha artinya tidak marah yang
terkendali, Guru Susrusa artinya
mengabdi, hormat kepada guru, Sauca
artinya teratur beribadah dan menyucikan lahir batin, Aharalaghawa artinya makan berlebihan, dan Apramadha artinya tidak berbuat sembarangan (Putra, 1988 : 72).
Jika dibandingkan dengan yang diajarkan dalam Silakrama ajaran Panca Niyama
Brata tersebut juga ada kesesuaian.
Sama halnya dengan ajaran Panca Yama Brata, bahwa Panca Niyama Brata di samping termuat
dalam Silakrama juga terdapat dalam Yoga
Sutra. Dalam Yoga Sutra II.32 dinyatakan: “ sauca santosa tapah svadhyayesvarapranidhanani
niyamah”. Maksudnya Niyama (aturan-aturan)
adalah (1) Sauca (menjaga kebersihan
dan kesucian), (2) Santosa (sabar dan
sentosa), (3) Tapah (bertapa), (4) Swadhyaya (membaca buku-buku suci), dan
(5) Iswarapranidhana (merenungkan
nama-nama Tuhan) (Tim Penyusun, 2011 : 20).
Jika diperhatikan di antara kedua pustaka di
atas, nampaknya ajaran yang sama adalah hanya Sauca, sedangkan yang lainnya berbeda. Akrodha, Guru Susrusa, Aharalaghawa dan Apramadha terdapat dalam Silakrama,
sedangkan Santosa, Tapah, Swadhyaya, dan
Iswarapranidhana termuat dalam Yoga
Sutra. Namun demikian semua ajaran
dimaksud merupakan ajaran pengendalian diri yang amat penting bagi kehidupan
manusia.
5) Dasa Yama Brata
Ajaran Dasa
Yama Brata ada termuat dalam kitab Sarasamusccaya
259 sebagai berikut :
Anrsamsyam ksama
Styamahimsa dama arjavam,
Pritih prasado madhuryam
Mardavam ca yama dasa
Artinya
:
Inilah brata yang disebut yama, perinciannya demikian : anrsangsya,
ksama, satya, ahimsa, dama, arjawa,
priti, prasada, madhurya, mardawa, sepuluh banyaknya. Anrsangsya yaitu harimbawa,
tidak mementingkan diri sendiri saja; ksama,
tanah akan panas dan dingin; satya,
yaitu tidak berkata berbohong (berdusta); ahimsa,
berbuat selamat atau bahagianya sekalian makhluk; dama, sabar serta dapat menasehati dirinya sendiri; arjawa, adalah tulus hati berterus
terang; priti, yaitu sangat welas
asih; prasada, kejernihan hati; madhurya, manisnya pandangan (muka
manis) dan manisnya perkataan
(perkataan yang lemah lembut);
mardawa,
kelembutan hati (Kadjeng, 1994 : 195).
Dasa Yama
Brata adalah sepuluh pengendalian diri
(anrsangsya), ksama, satya, ahimsa, dama, arjawa, priti, prasada,
madhurya, madawa) guna mewujudkan sifat-sifat utama atau luhur. Jadi
penekanannya di sini adalah ajaran yang menekankan pada pengekangan, dan
pengendalian nafsu indria.
6) Dasa Nyama Brata
Dasa Nyama
Brata merupakan suatu etika lanjutan
dalam Agama Hindu yang lebih tinggi lagi tingkatannya. Sumartawan (2008 : 41)
menyatakan bahwa : “Dasa Niyama Brata adalah sepuluh pengendalian diri dalam arti pengedalian
sebagian besar mengarah ke dalam diri sendiri”.
Di dalam
kitab Sarasamuccaya 260 dinyatakan
sebagai berikut:
danamijya tapo dhyanam
svadhyayayopasthanigrahah,
vratopavasamaunam
ca snanam ca niyama dasa
Artinya :
Inilah brata sepuluh banyaknya yang disebut niyama, perinciannya : dana, ijya, dhyana, swadhayaya, upasthigraha, brata, upawasa, mona, snana;
itulah yang merupakan niyama. Dana,
pemberian, makanan minuman dan lain-lain; ijya,
pujaan kepada dewa, kepada leluhur dan lain-lain sejenis itu; tapa, pengekangan nafsu jasmaniah, dhyana, terpekur merenungkan Siwa, swadhyaya, yakin mempelajari weda;
upasthanigraha, pengekangan upastha, pengendalian nafsu sex; brata, pengekangan nafsu terhadap
makanan dan minuman; mona,
pengekangan kata, tidak berkata-kata atau tidak bersuara; snana, trisandhyasewana,
mandi membersihkan diri pada waktu pagi, tengah hari dan petang hari (Kadjeng,
1994 : 202-203).
Dasa Niyama
Brata terdiri dari : (1) Dana, (2) Ijya, (3) Tapa, (4) Dhyana, (5) Swadhyaya, (6) Upasthanigraha,
(7) Brata, (8) Upawasa, (9) Mona, dan
(10) Snana. Sepuluh ajaran etika
inilah yang menekankan pada pengendalian indria
guna lebih menyempurnakan pengendalian melalui cara Dasa Yama Brata.
Berdasarkan paparan di atas susila itu adalah segala bentuk tingkah
laku yang dibenarkan oleh ajaran agama yang dapat menuntun manusia itu ke dalam
hidup yang sempurna, bahagia lahir batin dan menuju kepada persatuan Atman dengan Brahman (Tuhan Yang Maha Esa). Ajaran tentang susila (etika Hindu) tersebut di atas bukan saja penting untuk di
pahami, tetapi yang lebih penting lagi adalah untuk diamalkan sesuai dengan
petunjuk-petunjuk agama, sehingga dapat terbentuk masyarakat yang berbudi luhur
dan mulia. Apabila sudah bertentangan
dengan ajaran susila di atas
berarti seseorang telah melanggar ajaran agama.
2.3 Sabha Parwa
Sabha Parwa terdiri dari 2 (dua) kata yaitu Sabha
dan Parwa, dalam kamus Bahasa Jawa Kuna Indonesia disebutkan
“Sabha berarti pertemuan atau rapat
masyarakat-masyarakat terpandang”(P.J.Zoetmulder,2004:722). Sedangkan kata Parwa dalam Kamus Bahasa Jawa Kuna Indonesia disebutkan bahwa “Parwa berarti cerita prosa atau bagian
(buku) epik Mahabharata”
(P.J.Zoetmulder,2004:531).
Berdasarkan
pendapat tersebut maka Sabha Parwa adalah
cerita mengenai pertemuan atau rapat masyarakat-masyarakat terpandang. Sabha Parwa merupakan bagian atau epik
dari kisah Mahabharata dan merupakan parwa bagian ke dua dari delapan belas
bab epos besar Mahabharata.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1
Metode Penelitian
Sastra
Menurut Gantini (2005:16) menyatakan
“metode penelitian sastra digunakan
untuk menganalisis struktur cerita dan hermeneutik”. Selain itu, upaya
mendeskripsikan masalah sastra yang bersifat unik dan universal sebagai objek
penelitian. Hudayat (2007:1) menyatakan bahwa : “metode penelitian sastra
merupakan alat penting dalam mewujudkan sebuah penelitian sastra yang memadai”.
Kutha Ratna (dalam Hudayat,2007:2-6) membagi penelitian sastra dalam beberapa
metode yaitu metode intuitif, hermeneutik, metode formal, analisis isi,
dialektika, deskriptif analisis, deskriptif komparatif, dan deskriptif
induktif. Metode Hermeneutik adalah metode yang digunakan untuk mencari makna
yang paling optimal, untuk menghindarkan keterbatasan proses interpretasi,
dengan titik pijak yang jelas. Metode formal adalah analisis dengan
mempertimbangkan aspek-aspek formal, yang mengarah pada unsur karya sastra.
Metode dialektika adalah metode yang memiliki mekanisme tesis, antitesis, dan
sintesis yang prinsip dasarnya adalah unsur yang satu harus lebur ke dalam
unsur lainnya dengan cara setiap fakta sastra dapat dianggap sebagai tesis
kemudian diadakan negasi. Dengan adanya pengingkaran, tesis dan antitesis
seolah-olah hilang atau berubah menjadi kualitas fakta yang lebih tinggi, yaitu
sintesis itu sendiri. Sintesis kemudian menjadi tesis kembali dan seterusnya
sehingga proses pemahaman terjadi secara terus-menerus. Metode deskriptif
analisis adalah merupakan metode penelitian dengan cara mendeskripsikan
fakta-fakta yang selanjutnya disusul dengan analisis. Metode ini tidak hanya
menguraikan saja tetapi memberikan pemahaman dan penjelasan.
Sehubungan dengan uraian di atas,
maka metode penelitian sastra adalah metode penelitian sastra yang dapat
digunakan menganilisis struktur cerita dan hermeneutik sebagai upaya
mendeskripsikan suatu masalah sastra yang bersifat unik dan universal sebagai
objek penelitian. Adapun penelitian sastra yang digunakan adalah metode
hermeneutik dan deskriptif analisis yaitu dengan mencari makna
yang terkandung dalam
sastra secara optimal
dengan
mendeskripsikan fakta-faktanya
selanjutnya dilakukan suatu analisis.
3.2
Metode
Pendekatan Penelitian Sastra
Menurut Arikunto (2006:25)
dijelaskan “pendekatan adalah metode atau cara mengadakan penelitian seperti
halnya eksperimen atau non eksperimen”. Ini berati, menurut Arikunto pendekatan
penelitian dapat dibagi dua yaitu pendekatan eksperimen dan pendekatan non
eksperimen. Pendekatan eksperimen adalah suatu
cara untuk mencari hubungan sebab akibat antara dua faktor yang sengaja
ditimbulkan oleh peneliti yaitu melakukan perlakuan. Sedangkan yang dimaksud
dengan pendekatan non eksperimen adalah suatu pendekatan dimana hal yang
diteliti sudah ada, sehingga tidak perlu dilakukan perlakuan.
Menurut Sugiyono (2007:11)
disebutkan bahwa metode pendekatan dapat dibagi tiga yaitu metode eksperimen,
survei, dan naturalistik atau kualitatif. Selanjutnya ditekankan sebagai
berikut:
Metode
penelitian eksperimen adalah merupakan metode penelitian yang digunakan untuk
mencari pengaruh treatment (perlakuan)
tertentu. Metode survei digunakan untuk mendapatkan data dari tempat tertentu
yang bersifat alamiah (bukan buatan), tetapi peneliti melakukan perlakuan dalam
pengumpulan data, seperti :tes, wawancara terstruktur kuesioner dan sebagainya
(perlakuan tidak seperti dalam eksperimen). Sedangkan metode penelitian
naturalistik atau kualitatif adalah digunakan untuk meneliti pada tempat yang
bukan alamiah, dan penelitian tersebut tidak membuat perlakuan karena peneliti
dalam mengumpulkan data bersifat emic, yaitu berdasarkan pandangan dari sumber
data bukan pandangan peneliti (Sugiyono,2007:11)
Dari pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa
penelitian dapat dibagi menjadi tiga yaitu pendekatan eksperimen dan pendekatan
non eksperimen. Pendekatan eksperimen adalah suatu pendekatan untuk mencari
pengaruh dari suatu perlakuan yang diterapkan. Sedangkan pendekatan eksperimen
yaitu suatu metode pendekatan dengan tanpa melakukan perlakuan karena hal yang
diteliti sudah ada.
Metode pendekatan non eksperimen dapat dibagi dua
yaitu metode pendekatan survei dan naturalistik. Metode survei digunakan
mendapatkan data dari tempat tertentu yang bersifat alamiah (bukan buatan),
tetapi peneliti melakukan perlakuan dalam pengumpulan data, seperti mengedarkan
tes, wawancara terstruktur kuesioner dan sebagainya. Sedangkan metode
penelitian naturlalistik atau kualitatif adalah digunakan untuk meneliti pada
tempat yang bukan alamiah , dan penelitian tersebut tidak membuat perlakuan
karena peneliti dalam mengumpulkan data bersifat emic, yaitu berdasarkan
pandangan dari sumber data, bukan pandangan dari peneliti.
Dengan uraian di atas, maka pendekatan penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan non
eksperimen.Adapun metode non eksperimen yang digunakan yaitu pendekatan
naturalistik atau kualitatif, dimana peneliti memperoleh hasil penelitinnya
berdasarkan pandangan dari sumber data.
Abrams (dalam Hudayat,2007:39) dikemukakan ada empat
komponen utama pendekatan sastra yang menjadi bagian penting dalam teori
strukturlisme. Diantaranya ke empat pendekatan yang dimaksud adalah (1)
pendekatan ekspresif, (2) pendekatan memesis, (3) pendekatan pragmatik, dan (4)
pendekatan objek. Pendekatan ekspresif ini menempatkan karya sastra sebagai curahan, ucapan, dan
proyeksi pikiran dan perasaan pengarang. Pengarang sendiri menjadi pokok yang
melahirkan produksi persepsi-persepsi, pikiran-pikiran, dan perasaan-perasaan
yang dikombinasikan. Pendekatan mimesis dipertimbangkan pada dunia pengalaman,
yaitu karya sastra itu sendiri yang tidak bisa mewakili kenyataan yang
sesungguhnya melainkan sebagai peniruan kenyataan. Kemudian pendekatan
pragmatik memberikan perhatian utama terhadap peranan pembaca. Sedangkan
pendekatan objektif adalah memusatkan perhatian
pada unsur –unsur, antar hubungan dan totalitas. Pendekatan ini mengarah
pada analisis intrinsik.
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan pragmatik
karena dilakukan dengan membaca naskah dalam karya sastra Satua, sebab dimana
situasi yang diselidiki adalah mengungkapkan penelitian tentang nilai etika
dalam teks sabha
parwa.
3.3
Jenis
dan Sumber Data
3.3.1
Jenis
Data
Subagyo (1997:97) menyatakan bahwa :
“menurut jenis atau wujudnya, data dapat dibedakan menjadi dua yaitu data kualitatif
dan data kuantitatif" Dijelaskan bahwa data kualitatif adalah data dalam
bentuk uraian, sedangkan data kuantitatif diwujudkan dalam bentuk angka-angka. Marzuki
(2003:55) menyatakan bahwa :’’kuantitatif bisa dihitung atau diukur sifatnya,
banyaknya, besar gaji, lama belajar, sedangkan kualitatif diukur secara tidak
langsung seperti keterampilan, aktivitas, sikap’’.
Jadi dapat dijelaskan bahwa menurut
jenisnya, data dapat dibagi menjadi dua yaitu data kualitatif dan data
kuantitatif. Data kualitatif yaitu data dalam bentuk uraian-uraian atau
kategori-kategori. Sedangkan data kuantitatif data yang diwujudkan dengan
angka-angka.
Berdasarkan
uraian di atas, maka data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
kualitatif, karena data yang dicari adalah uraian tentang keadaan atau sifat
berupa diskrepsi kata-kata tertulis tentang nilai etika dalam teks Sabha
Parwa.
3.3.2
Sumber
Data
Apabila ditinjau dari sumber data
yaitu dari mana memperoleh data, maka data dapat dibedakan menjadi dua,yaitu :
(1) data primer dan data (2) data sekunder.
Menurut Sugiyono (2007:225) dijelaskan “Data primer
adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpulan data,
sedangkan Data sekunder adalah data yang tidak langsung memberikan data kepada
pengumpulan data”.
Dalam buku Sosiologi
dijelaskan bahwa :”Data primer adalah data yang diperoleh dari
sumber-sumber asli, sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh bukan
dari sumber asli atau pertama” (Damayanti dan Rahmawati, 2006:17-18). Lebih
lanjut dikemukakan oleh (Moleong, 1991:13)” Data primer yaitu data yang
diperoleh dari sumber pertama”. Sedangkan “Data sekunder yaitu data yang
diperoleh dari sumber kedua. Seperti dokumen, literatur-literatur, maupun
buku-buku dan sumber lainnya”.
Jadi data primer dapat dikatakan
sebagai data yang diperoleh melalui sumber pertama secara langsung atau data
yang diperoleh dari sumber kedua secara tidak langsung yang berasal dari
literatur, dokumen dan kepustakaan yang relevan dengan penelitian.
Berdasarkan uraian di atas, maka
yang dijadikan sebagai sumber data primer pada penelitian ini adalah berupa
data yang diperoleh dari teks Sabha Parwa
yang menjadi bahan kajian dalam penelitian ini, sedangkan sumber data sekundernya adalah adalah data yang
diperoleh dari kepustakaan-kepustakaan yang ada kaitannya
dengan penelitian, yang hanya
bersifat pelengkap dan
pembanding data primer.
3.4
Metode
Pengumpulan Data
Dalam buku Petunjuk Proposal, “metode pengumpulan data adalah suatu cara yang
digunakan untuk mengumpulkan data adalah suatu cara yang digunakan untuk
mengumpulkan data penelitian “(Riyanto, 2001:46). Di dalam buku Metodologi Penelitian Pendidikan dijelaskan bahwa “ada enam
Metode pengumpulan data yaitu : tes, obsevasi, wawancara, angket, sisiometri,
dan pencatatan dokumen” (Dwija, 2006:41). Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan metode pengumpulan data yang paling relevan digunakan adalah metode
pencatatan dokumen atau metode kepustakaan.
Dalam buku Metodologi
Penelitian Pendidikan dijelaskan bahwa “pencatatan
Dokumen adalah suatu cara untuk memperoleh data yang dilakukan dengan jalan
mengumpulkan segala macam dokumen serta mengadakan pencatatan secara
sistematis”. (Dwija, 2006:70).
Berdasarkan pendapat di atas, dapat dijelaskan bahwa
metode pengumpulan data merupakan hasil pencatatan peneliti baik berupa
kuantitas dengan menggunakan alat yang tepat untuk memungkinkan tercapainya
data yang positif.
Bertitik tolak dari pendapat tentang
metode pengumpulan data tersebut, maka terkait dengan penelitian ini, peneliti
menggunakan pencatatan dalam hal pengumpulan data mengenai parwa yang ada sangkut pautnya dengan teks Sabha
Parwa.
3.5
Metode
Pengolahan Data
Setelah mengumpulkan dan memperoleh
data yang diperlukan, langkah selanjutnya adalah mengelola data atau
menganalisisnya. Untuk dapat memberikan gambaran sesuai dengan tujuan
penelitian maka data yang terkumpul perlu diolah dengan mempergunakan Metode
Pengelolaan Data.
Menurut Moloeng (1996:207), ada
tiga jenis metode analisis data yaitu:
(1)Metode deskriptif adalah cara pengelolaan data
dengan jalan menyusun secara sistematis
sehingga diperoleh suatu kesimpulan secara umum, (2) Metode komparatif
adalah suatu cara pengelolaan data dengan mengadakan perbandingan data-data
yang satu dengan yang lainnya sehingga mendapatkan kesimpulan umum, dan (3)
Metode analisis adalah suatu cara yang dilakukan
dengan jalan mempergunakan suatu teknik
tertentu, sehingga diperoleh hasil.
Jadi
dapat dijelaskan bahwa metode pengolahan data untuk data kualitatif dapat
dibagi menjadi tiga yaitu: (1) Metode Deskriptif, Metode deskriptif adalah
suatu cara pengelolaan data yang dilakukan dengan jalan menyusun secara
sistematis data hasil penelitian sehingga diperoleh suatu sistematis data hasil
penelitian sehingga diperoleh suatu kesimpulan umum. (2) Metode Komparatif,
Metode
komparatif adalah suatu cara pengelolaan data yang dilakukan dengan mengadakan
perbandingan secara sistematis serta terus-menerus sehingga diperoleh suatu
kesimpulan. (3) Metode Analisis, Metode analisis adalah dengan suatu cara
pengelolaan data yang dilakukan dengan jalan mempergunakan suatu teknik
analisis tertentu sehingga diperoleh suatu dugaan atau kesimpulan.
Berdasarkan uraian di atas dalam
penelitian ini dipergunakan Metode Deskriptif yaitu cara pengelolaan data
dengan jalan menyusun secara sistematis sehingga diperoleh suatu kesimpulan
secara umum.
Azwar (1997:99-100) menyatakan bahwa:
Ada tiga teknik yang bisa digunakan dalam pengelolaan
data, yakni (1) Teknik Induksi yaitu dengan mengemukakan fakta-fakta yang
berlaku khusus, atas dasar ini ditarik kesimpulan, (2) Argumentasi yaitu dengan
memberikan komentar atau alasan-alasan pada setiap kita menarik kesimpulan,
(3)Teknis Spekulasi yaitu menggunakan ketajaman rasio atau akal pada setiap
kita menarik kesimpulan.
Dari uraian di atas teknik yang
digunakan dalam pengolahan data untuk mencari struktur dan nilai etika dalam teks Sabha Parwa adalah teknik induksi
dan argumentasi yaitu dengan cara terlebih dahulu mengemukakan fakta-fakta yang
bersifat khusus kemudian menarik kesimpulan dan memberikan komentar dan alasan
pada setiap kesimpulan.